Kehidupan Baru yang Hampa

6.5K 245 0
                                    

Mulai sekarang Juna tinggal dirumahku. Tetapi hubungan kami tidak seperti dulu, dapat berbincang sepuasnya layaknya teman, bercanda lalu saling meledek dan seterusnya. Tetapi hubungan kami sekarang juga tidak seperti halnya suami istri lainnya yang saling bicara terbuka dan sharing dalam segala hal. Kebanyakan diisi hanya dengan kesopanan palsu untuk menutupi kehampaan dalam perkawinan kami akibat married by accident.

Memang rasa sayang dan cinta sudah mulai tumbuh dalam hatiku, tapi apakah itu berlaku juga dengan Juna, aku rasa tidak.

Namun aku berusaha ikhlas menjalaninya dan kuharap Juna juga begitu, demi anak kami berdua. Walaupun setidaknya aku berharap sedikit hal romantis yang biasa dilakukan seorang suami pada istrinya di masa awal-awal perkawinan mereka, seperti mencium dahi istrinya jika pergi kerja atau sekedar mengutarakan kata-kata sayang, tetapi tentu saja aku sangat berlebihan jika mengharapkan hal itu terjadi pada keadaan rumah tangga kami sekarang ini.

Semua tetangga yang aku kenal bahkan yang tidak sekalipun, lama kelamaan mengetahui bahwa aku sudah menikah dengan Juna dan beredar kabar bahwa semua dilakukan karena aku hamil diluar nikah, tapi biarlah karena memang itulah kenyataannya.

Walaupun begitu mereka semua menerima kehadiran Juna dirumahku, dibuktikan dari masih terlihatnya sapaan mereka ketika aku berangkat sekolah dan Juna berangkat kerja ke minimarket dekat rumahku atau ketika kami pulang ke rumah.

Kecuali bu Riska.

Tatapannya kepadaku kini berbeda seakan-akan aku anak hina yang tak pantas hidup. Jangankan sekarang mengirimiku makanan, sapaan darinya saja tidak pernah lagi kudengar dari mulutnya. Aku tahu mungkin karena dia kecewa dan berharap aku bisa menjadi kekasih Kevin anaknya tetapi nyatanya malah berhubungan dengan laki-laki lain.

Aku tidak tahu tanggapan Kevin sendiri, sejauh yang aku amati, aku sudah tidak pernah lagi melihat Kevin menunggu di teras rumah, mungkin dia juga beranggapan seperti ibunya.

Untungnya di sekolahku tak ada satu siswa pun yang tahu bahwa aku sudah menikah, bahkan teman dekatku sendiri. Mungkin dikarenakan tak ada satu pun diantara mereka yang rumahnya berdekatan dengan rumahku sehingga kabar ini tak sampai beredar disini. Namun jika perutku sudah membesar aku tak tahu harus bagaimana lagi menyembunyikannya.

" Lu sakit Sep?" tanya temanku yang akhir-akhir ini melihatku selalu memakai jaket, padahal sengaja kulakukan untuk menutupi perutku, bahkan Rina sedikit memperhatikan bahwa sekarang ini aku sedikit lebih gemuk.

" Sedikit, lagi nggak enak badan aja." jawabku.

" Ke UKS aja istirahat," saran Rina," nanti lu sakit beneran lagi. Pelajaran terakhir Sejarah ini, bu Farid paling menerangkan tentang masa Orde Baru, nanti kira rangkumin buat lu deh."

" Tenang aja, gue masih kuat kok. Makasih ya perhatiannya." saat ini mereka mungkin perhatian denganku tetapi setelah tahu aku cewek macam apa, apa mereka masih peduli denganku dan masih mau berteman denganku.

Sepulang sekolah aku sedikit pusing tetapi aku tahan, mungkin hanya karena cuaca siang ini terlalu terik, awal-awal tahun memang cuaca tidak menentu, sedikit panas banyak hujan, tetapi sekalinya panas, pasti cuaca akan sangat panas sekali.

Aku juga diingatkan oleh kak Raisa agar minum vitamin dan minum susu ibu hamil tetapi aku minum hanya sesuka hatiku saja karena aku tidak menyukai rasanya. Lagipula selama ini aku sudah terbiasa makan dan minum sesuka hati tanpa jadwal rutin karena aku sudah terbiasa dengan pola hidup yang tidak teratur. Kak Raisa pun sesekali mengajakku check up ke dokter kenalannya demi kesehatan bayiku.

Dengan mendapat perhatian dari kakakku yang menurutku berlebihan, aku menjadi sangat tidak enak dengannya. Bahkan sekarang ia lebih mencurahkan perhatiannya pada kandunganku daripada usahanya untuk mendapatkan momongan di usia perkawinan yang sudah sangat matang.

Sebenarnya ketika aku pulang, aku melewati minimarket tempat Juna bekerja dan ingin mampir membeli sesuatu tetapi aku urungkan, karena sejak menikah dengan Juna aku tak pernah kesana jika Juna sedang bekerja.

Aku takut membuatnya malu, karena aku yakin pasti semua karyawan disana sudah mengetahui bahwa Juna terpaksa menikah denganku karena kecelakaan. Dan pastinya akan terasa canggung sekali mendapati Juna melayaniku di minimarket sedang hubungan kami tidak seperti dulu lagi.

Lalu mataku menangkap sosok Juna, ia berdiri disamping minimarket. Disana aku melihatnya bersama Gina sedang berbincang serius, bahkan sesekali Juna memegang bahu Gina. Tetapi yang membuat aku heran wajah Juna menampakkan penyesalan sedangkan Gina hampir berurai airmata, sejak kapan mereka saling mengobrol akrab, setahuku baru kali ini.

Bukankah selama ini Gina selalu menghindar jika Juna mendekatinya.

Lalu tiba-tiba ada rasa cemburu memasuki pikiranku. Suamiku berduaan dengan wanita lain. Harusnya aku menghampirinya dan mengatakan pada Gina 'jangan seenaknya berduaan dengan suami orang', namun aku tahu hal itu sangat memalukan. Dan Juna sendiri menikahiku karena rasa tanggung jawab bukan karena cinta, jadi aku merasa dia bebas menentukan pilihan hatinya.

Lagipula bisa saja mereka hanya membicarakan masalah pekerjaan. Lalu akhirnya aku hanya bisa berjalan sambil melupakan bahwa aku sudah melihat kejadian tadi.

Tapi nyatanya tidak, karena kini aku tidak mau Juna jatuh kepelukan wanita lain.

Sampai di rumah aku langsung tidur dan terbangun pada sore hari. Aku melihat Juna sudah berada di rumah, dia sedang mencuci piring di dapur.

" Biarin aja mba yang cuci piringnya nanti." harusnya aku berkata 'biar aku aja yang cuci piringnya', bukankah aku istrinya.

" Nggak apa-apa aku biasa cuci piring sendiri." katanya." Kamu nanti malam mau makan apa? Biar aku yang beliin."

" Nggak usah aku biasa beli makan sendiri." jawabku singkat. Juna diam sejenak dan melanjutkan cuci piringnya.

Istri macam apa aku ini, disaat suaminya membereskan pekerjaan rumah aku hanya diam saja tak acuh. Aku memang masih kesal dengan kejadian tadi, terlintas dibenakku untuk menanyakan hubungannya dengan Gina, namun aku sadar status dan posisiku.

Dan diam adalah cara terbaik yang bisa aku lakukan saat ini, agar tidak memperkeruh suasana.

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang