Rencana Baru

5.7K 242 0
                                    

Sebelum berangkat ke sekolah pagi ini, Juna menyerahkan uang padaku, memang tidak banyak sekitar satu setengah juta. Aku tahu gajinya sebagai pelayan minimarket tidak begitu besar, belum lagi kiriman uang untuk ibunya dikampung.

" Nggak usah, simpan aja uang kamu." kataku.

" Kenapa, kamu kan istri aku sekarang."

" Aku kan masih dapat uang dari ayah dan kak Raisa." ucapku dengan entengnya.

Raut muka Juna berubah heran." Tapi kamukan sekarang tanggung jawab aku, apa karena gajiku kecil dan kamu merasa aku nggak bisa menafkahi kamu?"

" Bukan begitu, soalnya... ." aku bingung mesti bekata apalagi. Ucapan Juna memang separuh benar namun aku takut menyinggungnya.

" Apa kamu tidak menghargai aku sebagai suami kamu?" katanya lirih," sebenarnya aku sangat tidak enak dengan keluarga kamu, aku sudah menumpang dirumahmu dan sekarang untuk biaya hidup, kamu juga masih mengandalkan mereka."

" Kamu saat ini suamikukan, kalau ini rumahku berarti ini rumah kamu juga kan."

" Lalu kenapa kamu menolakku uangku, bukannya ini uang kamu juga."

Aku memang buta mengenai konsep rumah tangga, menurutku masalah uang adalah masalah yang sepele, tetapi bisa saja menurut Juna tidak begitu. Aku hanya tidak ingin begitu membenaninya dalam masalah keuangan.

Karena aku merasa tidak enak maka aku terpaksa menerimanya." Makasih kalau begitu." dan aku segera berangkat ke sekolah tanpa sepatah kata lagi juga tanpa pamit pada suamiku.

Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa Juna sedang berusaha menjadi seorang suami yang sesungguhnya, untuk itu aku juga tidak mau kalah, maka aku bertekad untuk menjadi istri yang sesungguhnya, jika tidak untuknya setidaknya semua kulakukan untuk anakku.

*

Malam ini kulihat Juna makan sendirian di meja makan. Dia menawariku makan bersama. Karena kemaren dan pagi ini ia sudah bersikap selayaknya seorang suami, maka aku menghampirinya.

" Jangan lupa minum susu sebelum tidur," Juna berkata ketika aku baru saja duduk," sama vitamin, jangan cuma ngemil aja dibanyakin." Juna mengingatkanku karena aku sering lupa minum susu, bukannya lupa tetapi karena rasanya tidak begitu aku suka sehingga aku sengaja melupakannya. Justru daripada susu ibu hamil aku lebih suka susu kemasan yang sekali minum, walaupun gizinya tidak setara dengan susu ibu hamil, tetapi setidaknya aku selalu minum susu setiap hari.

Sepertinya ada hal lain yang ingin dibicarakannya, namun ia malu untuk mengutarakannya." Sep aku boleh mohon sesuatu." katanya sedikit ragu.

" Mohon apa?"

" Bagaimana kalau kita ngontrak rumah aja?" ucapnya pelan.

" Ngontrak rumah?" jawabku sedikit tidak yakin," memangnya kamu tidak betah tinggal disini?" sebenarnya aku juga merasa begitu, apalagi dengan sikap para tetangga khususnya bu Riska, tetapi apakah biayanya ada.

Juna sedikit ragu." Aku sih betah aja, tapi ayahmu."

" Oh masalah ayah, abaikan saja. Anggap saja ia tidak pernah ada." selama ini aku juga menganggapnya begitu.

" Bagaimana aku bisa mengabaikannya, kami hampir tiap hari bertatap muka dan pada saat itu juga ayahmu selalu membuang muka. Dan aku rasa ayah kamu nggak suka lihat aku ada dirumah ini." Juna mengutarakan pendapatnya.

" Jangankan kamu, ayah juga sepertinya tidak suka dengan aku dan dia juga bukan orang yang harus suka dengan sesuatu atau seseorang," ucapku," jadi tidak usah terlalu dipikirkan." aku berusaha menenangkan Juna." Hidupnya memang sudah kacau dari dulu." begitupun dengan hidupku.

" Kamu anaknya sedang aku hanya menantunya, itu sama saja aku orang baru, dan aku bukan kamu yang bisa cuek dengan semua masalah yang ada dirumah ini, lagipula... " Juna berusaha merangkai kata-kata.

" Bukannya itu sama aja, dia orang tua kamu juga kan." aku membantah," dan aku bukannya cuek tapi karena aku memang tidak bisa mengubah sifat ayah, jadi untuk apa aku repot-repot melakukan sesuatu hal yang mustahil."

" Kita bisa mengubahnya."

" Dengan apa? Bicara pada ayah untuk selalu ramah pada kita." aku menghela napas, itu hal yang mustahil," itu sama aja menyuruh aku untuk belajar setiap hari, dengan kata lain semua itu merupakan hal yang tidak mungkin."

" Dengan kita pindah, mungkin membuat ayah kamu senang karena sepertinya ia nyaman tinggal seorang diri."

" Kamu pikir kalau kita pindah ayah langsung berubah menjadi pribadi menyenangkan." Aku tertawa sinis," itu sudah wataknya, mau ada kamu ataupun tidak, kakakku saja sudah capek menasehatinya." tetapi tidak denganku karena biarpun aku cuek setidaknya ada beberapa nasehat yang aku dengar dari kak Raisa, contohnya nasehat agar aku segera menikah dengan Juna.

" Lagipula kita punya keluarga sendiri, bukankah lebih baik mulai sekarang kita hidup mandiri, dan aku melihat kamu seorang wanita yang cukup mandiri." ujarnya jujur." Masalah biaya... aku akan mengusahakannya, mungkin dengan kerja sampingan atau usaha lain. Akhir-akhir ini Atta cukup lumayan menghasilkan uang dari hasil jualan online, mungkin aku akan mengikuti jejaknya."

Aku memikirkan pendapat Juna yang menurutku bisa diandalkan, walaupun masih sedikit ragu, apakah kami berdua bisa hidup mandiri. Tetapi kelihatannya ia sangat bersikukuh dengan pendapatnya." Bagaimana kalau aku minta saran dulu sama kak Raisa." tanyaku pasrah.

" Ya itu terserah kamu, hanya saja kalau dia tak setuju, aku mau kamu tetap mempertimbangkannya lagi. Dan... ," Juna sedikit malu mengutarakannya, pasti ini masalah tanggung jawab lagi," aku harap kamu hanya minta saran bukan minta yang lainnya, maksudku kak Raisa sudah banyak membantu kita, aku merasa nggak enak untuk merepotkannya lagi karena sekarang kamu sudah merupakan tanggung jawabku." dan aku juga berharap kamu tahu keuangan kita, kataku dalam hati.

" Oke kalau kamu setuju. Jadi kamu udah punya rencana dimana kita akan ngontrak?"

" Aku akan pikirkan mulai besok."

" Sip, dan aku juga akan memikirkan kira-kira barang apa saja yang akan kita bawa. Tentunya aku tak mau kalau aku tak bisa lagi main game atau nonton film dikontrakan yang nanti kita tempati." ujarku cukup jelas.

" Kalau kamu mau kita bisa bawa tv punyaku, ada dikontrakan Atta, tak terlalu besar sih tapi lebih baik daripada tidak ada."

Aku mengangguk pertanda setuju, dan Juna terlihat senang begitupun aku.

Apakah ini yang namanya hidup berumah tangga, pada akhirnya aku dan Juna menyetujui sesuatu. Mungkin ini adalah rencana pertama kami untuk membangun sebuah hubungan kearah yang lebih baik. Aku merasa bahwa masa depanku tidaklah sesuram yang aku bayangkan.

Aku tak lagi membayangkan atau mengharapkan sesuatu yang romantis akan terjadi, atau keharmonisan, karena yang aku butuhkan hanya rasa tanggung jawab dan saling pengertian, dan ini adalah awal yang bagus.

7z^#

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang