Sebuah Kepastian

6.6K 262 2
                                    

Kemaren sore kak Raisa bertemu dengan Juna dan membicarakan apa yang terjadi padaku. Kak Raisa bercerita bahwa Juna sangat kaget dan shock, bibirnya kelu bahkan terdiam cukup lama tak dapat berkata apa-apa.

Lalu kak Raisa meninggalkannya begitu saja untuk mempertimbangkan dengan matang saran kak Raisa, sesuai perkataannya, jika Juna memang laki-laki baik dan bertanggung jawab pasti ia akan melakukan sesuatu hal yang benar juga, minimal mengakui terlebih dahulu bahwa benar ia adalah ayah dari anak yang kukandung saat ini.

Kak Raisa pun memberikan jalan keluar yang menurutnya baik, tapi aku tidak tahu apakah menurut aku dan Juna hal itu merupakan jalan keluar terbaik.

Dan dengan dimulainya semester yang baru ini sekaligus semester terakhir aku di sekolah menengah, aku berharap bisa menyelesaikannya bersamaan dengan menyelesaikan masalah mengenai masa depan anakku kelak. Untungnya hari pertama masuk sekolah di semester baru, guru-guru tidak langsung membahas pelajaran, yang mungkin akan menambah beban bagiku.

Mereka hanya membahas bab-bab yang akan diajarkan atau soal-soal apa saja yang akan keluar di ujian nasional nanti, dan jam terakhir diisi oleh guru BK yang menjelaskan tentang masa depan perkuliahan dan bagaimana kita menentukan tujuan mata jurusan yang tepat ketika nanti di Universitas.

Aku yang belum tahu akan mengambil jurusan apa, hanya bisa mendengarkan, sedikit banyak aku berpikir untuk menjadi ahli kesehatan, entah itu bidan atau perawat tetapi kalau masuk jurusan tersebut harus dari jurusan IPA sedangkan aku dari jurusan IPS. Memang ada beberapa Universitas yang tidak mengkhususkannya namun tetap saja dengan nilaiku yang pas-pasan apakah mungkin aku akan diterima.

Belum lagi aku tak yakin tahun ini akan kuliah, mana ada Universitas yang mau menerima mahasiswi yang sedang hamil.

Sepulang sekolah aku mendapati Juna didepan rumahku.

Aku sungguh terperanjat karena tak menyangka dia akan kerumahku secepat ini. Dalam hati aku berkata bahwa aku belum siap. Sejenak aku mengisyaratkan untuk berbalik arah tetapi suara Juna menahan langkahku dan dengan segenap hati aku mengumpulkan keberanian agar bisa menghadapi segala kemungkinan.

" Hai Sep." sapa Juna. Sapaannya mengartikan banyak hal.

Aku mengangkat tanganku." Hai... juga." sekilas aku melihat wajahnya, ada perasaan takut bercampur malu." Masuk Jun."

Dia mengikutiku ke teras rumah dengan sedikit ragu, begitupun aku yang tak tahu harus memulai darimana, seharusnya kakakku memberitahu juga padaku apa yang harus kukatakan padanya, karena sepertinya kakakku lebih paham dengan masalahku daripada aku sendiri.

" Kamu mau minum apa?" aku seperti bukan berhadapan dengan Juna yang biasanya.

Juna sedang berpikir." Kemaren aku bertemu dengan kakakmu." ucapnya pelan dan kali ini dia langsung to the point.

" Jadi kamu udah tahu." aku tertunduk lesu dan dia sepertinya paham.

" Aku minta maaf baru kesini sekarang. Harusnya aku menanyakan kabar kamu setelah... " aku tahu apa yang dimaksud Juna.

" Nggak apa-apa, bukan salah kamu juga sebenarnya. Harusnya aku yang minta maaf. " lalu kami berdua terdiam lama dan hanya keheningan yang menemani seketika. Aku tahu Juna shock mendengar berita ini, begitupun dengan kakakku, tetapi entah mengapa sepertinya aku yang menanggung beban lebih banyak dari yang lainnya.

" Kakak kamu sudah memberitahukan mengenai... rencananya dan aku sedang memikirkannya," tentu saja kamu harus memikirkannya, karena ini mengenai menyangkut masa depan kita berdua, kataku dalam hati," Lalu apa rencana kamu sendiri." Juna sedang meminta pendapat pribadiku.

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang