Awal yang Baru

5.6K 203 0
                                    

Akhirnya kami pindah kekontrakan baru kami, tak besar sayangnya, hanya terdapat empat ruangan, ruang tamu, kamar, ruang makan plus dapur, kamar mandi kecil paling ujung serta sepetak halaman belakang untuk jemuran.

Aku berharap dari sini bisa memulai hidup yang lebih baik. Aku juga sudah bilang pada ayah tentang rencana ini, ia diam saja walaupun pada akhirnya hanya berkata 'silahkan kalau itu mau kamu dan suami kamu'. Ayah menekankan kata 'dan', mungkinkah ayah tahu bahwa ini adalah ide Juna.

Tapi apa pentingnya ini ide siapa, aku pun sudah muak tinggal dirumah ayah, yang selalu tak diacuhkannya. Memang benar kata Juna, hidup dengan orang yang tak menginginkan kita sangat tidak nyaman dan sekarang Juna menginginkan aku bersamanya, berarti mungkin aku lebih baik menuruti perkataan suamiku daripada ayahku.

Bukankah itu yang sebaiknya dilakukan seorang istri.

Tetapi di kontrakan kami yang baru belum seutuhnya aku bisa hidup bahagia. Biarpun aku dan Juna sudah banyak berinteraksi mengenai 'rumah kami yang baru' tetapi aku rindu Juna sebelum kami menikah, atau lebih tepatnya sebelum malam kejadian itu.

Kita bisa bebas berbicara apa saja, saling menyarankan sesuatu dan seringnya saling meledek. Dulu dia bisa seperti teman, kakak, orang tua, tapi sekarang bagiku dia hanya menjadi teman satu rumah, seakan-akan dia adalah teman kosku yang baru aku kenal.

Tapi satu yang pasti, dari dulu dia tidak pernah menjadi kekasihku atau mungkin takkan pernah menjadi 'suamiku'.

Karena satu hal yang masih meragukanku untuk menganggapnya suami, baginya mungkin hal sepele tapi bagiku tidak. Selama disini aku dan Juna jarang tidur berdua. Dia lebih sering tidur dikursi, walaupun pernah sesekali kami tidur bersama dalam satu tempat tidur, tetapi kami berada disisi yang berbeda.

Jadi apakah masih bisa kami disebut suami istri.

Seperti halnya yang berkali-kali aku pikirkan, perkawinan kami memang hampa sehampa tempat tidur kami, mungkin karena tak berlandaskan cinta. Tetapi kadang ada perasaan sangat ingin dicintai oleh Juna, terlebih ketika ia mengalah untuk membereskan rumah atau mencuci baju, aku menganggap bahwa kami sudah benar-benar seperti menjadi suami istri sungguhan.

" Biar aku aja, nanti kamu kecapekan, aku udah biasa kok."

" Aku juga udah biasa kok." bantahku.

" Udah kamu siap-siap sekolah aja."

Seperti itulah percakapan kami ketika aku berusaha mengerjakan pekerjaan rumah dan Juna merasa itu akan mengganggu kesehatan aku dan bayiku. Maka pada akhirnya aku menuruti ucapan Juna, untungnya akhir-akhir ini dia masuk siang, sehingga aku tidak banyak berdebat lagi masalah waktu yang nantinya akan mengganggu jam kerjanya.

Andai saja anakku bisa cepat-cepat lahir, mungkin anak kami bisa menjadi perantara aku dan Juna agar bisa hidup bahagia lebih dari yang kami harapkan saat ini.

Ketika keadaan dirumah sudah membaik, muncul masalah di sekolahku. Akhir-akhir ini sudah ada saja yang memperhatikanku bahwa aku sedikit lebih gemuk dari aku yang kemaren-kemaren. Untungnya karena aku sering banyak makan jadi mereka semua menelan mentah-mentah alasanku.

Bahkan ada yang menyeletuk bahwa aku yang sekarang terlihat gemuk karena sudah memakan seorang 'orok', itu sebutan untuk orang rakus, mereka tidak tahu saja bahwa diperutku memang ada orok bayi, tetapi mana tega aku untuk memakannya.

Sepulang sekolah pun Rina dan Martha mengajak nonton film dirumahku tetapi tentu saja aku tolak, semua temanku tidak tahu kalau aku sudah pindah dan tidak mungkin mereka aku bawa ke tempat kontrakanku.

" Aku baru aja download film bagus nih, kita nonton yuk pulang sekolah." kata Martha padaku dan Rina.

" Boleh," jawab Rina," gimana kalau di rumah kamu aja Sep."

" Hmm, kayaknya nggak bisa deh."

" Kenapa, bukannya ayah kamu sering nggak ada di rumah." Rina membantah.

" Sekarang ini aku lagi tinggal di rumah kakak, jadi males aja pulang ke rumah. Dan lagi rumah kakakku kan jauh." aku berusaha mengarang-ngarang cerita agar mereka tidak bisa kerumahku.

Rina pasrah." Ya udah, di rumah Martha aja gimana nontonnya?"

" Oke aja sih." jawab Martha.

" Aku nggak ikut deh kali ini," jawabku dengan nada malas," tapi kalau besok aku pinjam filmnya boleh kan?" mereka berdua saling pandang dan mengangkat bahu tetapi Rina dengan pasrah berucap." Boleh aja sih."

Dengan kepindahanku kerumah kontrakan untuk menghindar dari ayah juga tetangga-tetanggaku yang menyebalkan, ternyata tidak semudah itu. Memang benar jika masyarakat luas sudah terlibat dalam suatu konflik maka tidak akan pernah mudah bagi kita untuk menghindar.

Dan sekarang setiap Martha atau Rina ingin main ke rumah, aku selalu mengarang cerita, bahkan Tono yang kadang ingin mengantar aku pulang dengan motornya akhir-akhir ini selalu aku tolak dengan halus bahwa aku akan mampir ke suatu tempat terlebih dahulu.

Aku tahu aku tidak bisa terus menerus berbohong namun aku belum menemukan cara yang tepat untuk mengatur agar aku masih bisa sekolah dengan keadaanku yang hamil seperti ini.

Tak banyak yang bisa aku lakukan di rumah kontrakanku, dengan ruangan terbatas dengan ukuran yang terbatas juga hidup jadi terasa sempit. Jika aku menyalakan musik atau televisi terlalu keras saat sore atau malam hari maka akan mengganggu tetangga sekitar, untungnya tidak di siang hari karena semua penghuni kontrakan disini orang yang bekerja semua, kecuali hari sabtu dan minggu tentunya.

Kontrakanku pun tak ada pagar dan teras yang luas hanya beberapa petak ubin. Tetapi satu keuntungannya bahwa dari mereka semua tak ada yang membicarakan aku dan Juna, mungkin karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, tetapi bukankah kita memang harusnya mengurusi hidup kita sendiri tanpa harus mencampuri hidup orang lain tidak seperti tetangga-tetanggaku dulu. Khususnya bu Riska.

Semua penghuni kontrakan disini sibuk bekerja dari yang suami istri sampai yang masih single. Dan mereka hanya tahu bahwa aku dan Juna adalah sepasang suami istri karena ketika aku berangkat sekolah mereka semua sudah berangkat dan begitu juga ketika aku pulang, jadi tak ada yang curiga bahwa aku adalah seorang istri yang masih menginjak sekolah menengah atas.

Tapi aku juga tidak tahu sampai kapan rahasia ini tersimpan dari tetangga-tetanggaku yang baru dan teman-teman sekolahku.

?yUA"

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang