Epilog

13.1K 322 6
                                    

Hari yang aku tunggu selama kurang lebih sembilan bulan, akhirnya tiba.

Dengan segala kepanikan yang mendera aku dan Juna, akhirnya tibalah waktu bagi kami menyambut kelahiran anak pertama kami. Dengan umur yang masih sangat muda, dokter tidak menyarankan kelahiran secara alami, dan lebih menganjurkan untuk Caesar.

Kak Raisa menasehatiku untuk mengikuti anjuran dokter, begitupun aku dan Juna. Untungnya operasi Caesarku berjalan lancar, tidak sampai satu jam akhirnya aku mendengar jeritan anak pertamaku. Anak yang dengan segala usaha aku jaga dan pertahankan, akhirnya menghirup udara dunia ini, seperti aku dulu, tepatnya delapan belas tahun yang lalu.

" Selamat ya mbak, anaknya laki-laki. Sehat dan tampan lagi." kata Suster Endah padaku. Dengan seluruh tubuh yang masih dipenuhi darah, aku menatap wajahnya dan mengelus dahinya, sungguh lembut anugerah Tuhan.

Rasa haru kak Raisa tak kalah denganku. Mungkin dia sangat terharu dan bahagia karena dua alasan. Yang pertama adalah karena menyambut keponakan pertamanya, kedua adalah lebih karena senang melihatku bahagia.

Aku melihat wajah ayah juga berkaca-kaca.

" Boleh ayah gendong?" tanya ayah padaku.

" Apa ada larangan seorang kakek menggendong cucunya sendiri."

Aku juga melihat papa mas Rizal beserta istrinya datang menjengukku. Papa mas Rizal sungguh senang, terlihat dari wajahnya yang selalu tersenyum ketika menatap anakku, berbeda dengan mamanya mas Rizal, mungkin kedatangannya dikarenakan paksaan dari suaminya juga mas Rizal. Tapi aku tidak begitu mempermasalahkannya.

" Septiiii," lalu segerombolan orang masuk begitu saja membuat suasana menjadi gaduh," ya ampun Sep, selamat ya udah jadi ibu." ternyata mereka adalah Martha dan kawan-kawan.

" Anak lu cakep banget," ujar Heri spontan," kayak temennya."

" Emangnya lu punya andil apa sampai-sampai anaknya Septi bisa cakep kayak lu."

" Tapi lu ngaku kan kalau gue itu cakep." ujar Heri dengan sangat pede.

Tangan Rina menyenggol tangan Heri." Kalau ngomong hati-hati nanti suami Septi marah loh." lalu mereka berdua mencari-cari diruangan, apakah ada sosok Juna, tapi mereka lega karena Juna tidak ada disini. Tentu saja tidak ada, ruangan sekecil ini mana cukup untuk keluargaku ditambah kunjungan sekitar lima orang, apalagi orang-orang yang terlalu heboh seperti mereka.

Selama kunjungan teman-temanku, keluargaku menyingkir sejenak. Dan setelah sekitar sejam mereka menjenguk dan ingin berpamitan. Datang lagi seorang yang membawa sebungkus kado besar. Dan ternyata orang itu adalah Marsha.

" Septi, gimana bayinya?" tanyanya dengan pelan, sedangkan teman-temanku yang lain agak ragu untuk berpamitan atau masih ingin menemaiku bersama Marsha.

" Kalian mau kemana, Marsha kan baru aja datang." suasana menjadi canggung sejenak, tapi suara Tono mencairkan suasana.

" Iya deh kalau lu masih kangen sama kita."

" Lagian kalau pulang sama Marsha kan, jadi pas ada tiga pasang." mereka semua saling melirik kemudian tertawa bersama-sama. Itu menandakan bahwa kami semua sudah melupakan perselisihan kami selama ini.

Setelahnya antrian pengunjung memadati ruangan tempat aku rawat inap. Dari teman kerja Juna di minimarket dan bisnis online, termasuk Gina yang datang bersama seorang cowok yang sepertinya kekasihnya. Juga ada Kevin beserta ibunya juga beberapa tetangga dekat lainnya. Om Zul dan mas Kiki serta saudara lain yang kini aku beritahu.

Tidak ada hari yang lebih bahagia selain dari hari ini. Aku tak menyangka sebuah kelahiran dapat mendatangkan kebahagiaan melebihi mendapat harta sebesar apapun di dunia, bukankah anak juga merupakan sebuah harta tak ternilai harganya.

Tak ada kesedihan yang terpancar di semua wajah kami, begitu pun aku dan Juna. Dan kini aku tak perlu berandai-andai lagi dalam menghadapi semua masalahku, karena berandai-andai hanya untuk orang yang putus asa dan tak mampu menghadapi kenyataan.

Itulah yang sudah diajarkan anakku kepadaku, termasuk kak Raisa, kakakku. Aku beruntung memiliki keduanya. Dan jika Tuhan masih membolehkanku berandai-andai, hanya satu keinginanku. Andai saja kak Raisa bisa segera menyusulku menjadi seorang ibu.

*

Tepat pada hari Minggu dibulan September, persis hari kelahiranku delapan belas tahun yang lalu, aku mengadakan resepsi perkawinanku dengan Juna.

Tak ada orang yang aku kenal yang tidak aku undang. Karena aku tak perlu malu lagi pada mereka, sebab bukankah semua manusia hanya bisa belajar dari kesalahan. Hanya saja tergantung bagaimana kita memandang masalah itu sendiri.

Resepsi aku dan Juna diadakan disebuah gedung. Dan kali ini Juna tidak keberatan dengan semua bantuan dari keluargaku, juga tidak perlu malu karena Juna sudah merupakan bagian dari keluargaku. Juna sendiri sudah mendaftarkan kuliah di salah satu Universitas swasta. Dan semoga dengan berpendidikan tinggi dapat mengubah kehidupan kami kelak.

Dan tentu saja ada satu hal yang membedakan resepsi pernikahan aku dan Juna, yaitu kehadiran Kresna, kehadiran anak pertama kami. Dinamakan Kresna, karena Kresna adalah teman seperjuangan Arjuna dalam cerita Mahabrata. Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan yang pasti aku senang dengan nama anakku karena terkesan dengan nama pewayangan yang merupakan budaya Indonesia.

Tetapi ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya, yaitu keceriaan mamanya mas Rizal yang juga hadir di resepsi pernikahanku, bahkan ketika aku dan mamanya mas Rizal bertatap muka, ia terlihat sangat senang sekali.

Dan pertanyaanku terjawab, ketika kak Raisa akhirnya memberitahuku sesuatu yang menurutku terdengar seperti doa yang sudah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

" Kenapa sih dari tadi kak Raisa senyam senyum sendiri?" tanyaku dengan nada heran.

" Tebak apa?" aku menggelengkan kepala," masa nyerah begitu aja."

" Kak Raisa udah berdamai dengan mamanya mas Rizal ya."

Kakakku memutar-mutar bola matanya membuatku makin penasaran." Itu termasuk sih, tapi... ."

" Tapi apa?" aku memaksa kakakku bercerita.

" Pokoknya nggak sampai setahun, anak kamu akan segera punya adik." Kak Raisa mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum bahagia sekali.

Aku mengerti apa maksudnya. Bahwa semua penantian itu takkan pernah sia-sia terlebih diiringi doa dan kesabaran. Dan kini semua doa dan harapan aku dan kakakku terjawab sudah. Aku sendiri tak menyangka, disaat aku menjadi ibu diusia yang masih sangat muda, kak Raisa, kakakku akhirnya bisa menyusulku menjadi seorang ibu diusia yang sudah sangat matang.

Usia memang tidak menentukan seseorang untuk menjadi ibu, karena yang diperlukan seorang ibu adalah kedewasaan serta pengorbanan.

***

�4͜J�e�

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang