Too Young to be Mom

6.3K 212 0
                                    

Menjelang satu bulan persalinanku, aku makin sering berkunjung ke rumah sakit. Juna dan kakakku bergantian mengantarku, walaupun Juna merasa selalu tidak enak dengan kak Raisa karena selalu membuatnya repot.

Bahkan selepas perpisahan sekolah ayah jadi ikut-ikutan repot dengan rencana persalinanku kelak. Dan kadang ayah juga mengajakku kerumah, dan menanyakan kembali mengenai ajakannya untuk menempati rumah tersebut seperti pertama kali aku menikah dengan Juna.

Tetapi malah sekarang Juna yang sedikit berberat hati untuk pindah, selain karena sudah terlanjur membayar kontrakan, Juna belum mau merepotkan ayah yang sekarang makin lama sudah makin terbuka dengan kami berdua. Hal itu juga yang menjadi alasan kak Raisa berbahagia dan mengutarakannya ketika mengajakku ke sebuah toko perlengkapan bayi.

" Kalau ibu masih ada pasti dia senang melihat kamu bisa mengembalikan sifat ayah seperti dulu." Kak Raisa memuji diriku yang berhasil membujuk ayah kembali kedirinya yang dahulu.

" Kalau ibu masih ada, pastinya aku tak perlu repot-repot membuat ayah kembali ke sifatnya seperti dulu dan mungkin saat ini aku sudah mendaftarkan diri ke salah satu Universitas dan menjadi seorang mahasiswi." kataku dengan sejelas-jelasnya, namun apa yang aku utarakan adalah kenyataan. Andai saja ibu masih ada, semua takkan menjadi seperti ini.

Kak Raisa merasa tidak enak hati." Maaf kalau ucapan kakak menyinggung kamu." kata kakakku dengan nada menyesal.

" Sama sekali nggak kok." lalu aku tersenyum pada kakakku. Lagipula mana mungkin aku marah dengan kak Raisa yang sudah begitu baik padaku selama ini. Tanpa dia mungkin aku sudah menjadi seorang ibu jahat yang menelantarkan anaknya sendiri atau mungkin malah menghilangkan nyawa seorang bayi.

Dan tentunya aku berterima kasih untuk kehadiran Juna disisiku saat ini.

" Yang ini strollernya lucu," kak Raisa menunjuk sebuah stroller berwarna merah yang berada paling ujung," ambil yang ini juga ya."

" Tadi bukannya udah beli kak?"

Sambil menganggumi stroller yang berada didepannya kak Raisa berkata." Nggak apa-apa buat ganti-ganti."

" Tapi... ."

" Udah nggak usah bingung, anggap aja ini hadiah dari kakak buat calon keponakan." Kakakku tersenyum padaku dan mengelus perutku. Aku yang sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk semua barang-barang perlengkapan bayi yang saat ini sudah memenuhi mobil kak Raisa, merasa sangat tidak enak. Aku tahu aku tak mampu membeli semua barang ini, tetapi aku kan ibunya.

Aku melihat jam dan sudah hampir sore, aku takut Juna pulang sebelum aku sampai rumah." Kak udah sore nih, habis bayar stroller itu langsung pulang ya?" dengan mata yang masih melirik ke barang-barang lain, sebenarnya kak Raisa masih ingin membeli sesuatu, tapi ia tahu bahwa aku sudah merasa puas dengan semua yang sudah dibelikannya dan meminta untuk segera pulang.

Sesampainya dikontrakanku, sebagian barang sudah aku buka dan aku simpan dengan rapi disudut ruangan yang masih kosong. Ketika aku merapihkan barang-barang yang dibelikan kak Raisa, kakakku memperhatikanku dengan seksama dan aku sadar akan hal itu.

" Ada yang salah?" dengan tatapan kak Raisa seperti itu wajar aku bertanya.

" Nggak ada apa-apa kok." tapi aku tahu bahwa kak Raisa menyembunyikan sesuatu.

" Jangan bohong nanti pahala kasih kadonya berkurang nih."

Seperti ada pertanyaan yang ingin diutarakan oleh kak Raisa." Gimana sih rasanya jadi ibu?"

Terjawab sudah pertanyaanku. Kak Raisa yang sudah lama menantikan buah hati pasti ingin merasakannya. Andai saja ia juga bisa sebahagia aku sekarang." Maksudnya calon ibu," aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku belum menjadi seorang ibu," rasanya kayak pengen punya adik baru."

" Memangnya kamu pernah punya adik apa." sanggah kakakku.

" Pernah," jawabku yakin," adiknya Juna kan adikku juga." aku teringat Sari yang pernah sekali mengobrol lewat telepon walau hanya sebentar.

" Kayaknya kakak mau ikutin saran mama buat ikut progran bayi tabung." ucap kak Raisa pasrah.

" Bukannya mas Rizal nggak setuju."

Kak Raisa heran aku bisa tahu." Kamu tahu dari mana kalau mas Rizal kurang setuju."

" Sebenarnya waktu makan malam dirumah kak Raisa aku mencuri dengar pembicaraan kakak tentang mamanya mas Rizal," aku menunggu reaksi kak Raisa," aku salah ya."

" Yang waktu ditaman belakang rumah?" aku mengangguk," kamu nggak salah, kecuali kalau kami bicara dikamar terus kamu sengaja menguping, baru kamu salah."

" Terus kenapa sekarang kak Raisa berubah pikiran?"

" Selain nggak mau mama ikut campur lagi, kakak pengen kayak kamu." ada nada sedih dalam ucapannya yang tidak tergambarkan diwajahnya.

Aku ingin sekali menghibur kakakku, tapi bagaimana caranya, aku bukan Tuhan yang bisa menciptakan satu nyawa sebagai pengganti buah hati untuk kak Raisa." Aku malah pengen kayak kakak."

" Ayolah Sep serius sedikit," kini ia tahu maksudku," kakak nggak bisa bohong bahwa kakak iri sama kamu, apalagi ternyata kamu mampu melewati semua ini. Awalnya kakak takut kamu tidak bisa menjadi ibu bagi anak kamu, nyatanya kakak salah dan untuk itu kakak lebih iri lagi."

" Awalnya aku juga ragu, diusiaku yang terlalu muda, apakah aku bisa menjadi seorang ibu. Tapi aku juga nggak ragu bahwa berapapun usia kita, suatu saat pasti jika Allah menginginkan kita untuk memiliki buah hati, semua pasti akan terwujud pada waktunya. Jadi intinya mau kita pilih program tabung atau nggak, kalau Allah belum mengizinkan, ya nggak akan berhasil."

" Tapi bukannya kita harus berusaha dulu."

" Berdoa kan juga salah satu usaha."

" Kamu makin pintar aja ngeles, belajar dari siapa? Dari Juna."

" Bisa iya bisa nggak."

" Maksud kamu?"

" Udah lupain aja," sahutku menutupi sesuatu," ngomong-ngomong makasih buat semua hadiahnya, aku jadi enak nih."

" Bisa aja kamu."

Masalah Juna aku belum bisa jujur, bahwa dua hari terakhir ini ia sepertinya menutupi suatu hal dariku, dan dari bicaranya yang irit, mengingatkanku akan pertama kali kami berumah tangga. 

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang