Aku tidak bisa tidur semalaman karena permainan bodoh itu. Kenapa aku mau menuruti permintaan mereka yang aneh itu?
"Kenapa... menyesal... tidak ada gunanya... maut teman-temanmu di depan mata," kata Jenny tiba-tiba.
"Yah... Ekey tahu..." (ya, aku tahu).
"Dasar loser. Sudah stupid, loser lagi." (dasar pengecut. Sudah bodoh, pengecut lagi)
"Yah... aku terlalu loser untuk menjadi hero" (iya, aku terlalu pengecut untuk menjadi pahlawan).
"Tolong Jenny..."
"Minta tolong apa, huh?"
"Bagaimana cara menetralkan permainan itu..."
"Permainan itu?" tanya Jenny.
Aku mengangguk.
"Bakar boneka jelangkung itu," jawabnya.
"Bakar ? ... Oke, aku akan membakarnya."
Aku langsung meminta temanku untuk datang ke pantai pasir putih, tempat biasa kami bermain. Semua sekarang berkumpul dan aku langsung menanyakannya.
"Caranya adalah kita harus membakar boneka sialan itu," kataku.
"Tapi kita tidak tahu di mana bonekanya," kata Rere.
"Carilah... berani berbuat, berani bertanggung jawab," tambah Kiki.
"Iya, benar kata Kiki... kita akan mencarinya," kataku sambil memegang kepala.
Aku harus berpikir keras. Aku membayangkan boneka itu. Samar-samar aku melihat boneka itu berada di belakang sekolah. Aku masih ingat sedikit ketika aku melemparkan boneka sialan itu. Rere pasti tahu. Ya, aku harus menanyakannya.
"Di belakang sekolah," bisikku.
"Apakah dia tahu?" tanyaku kepada Rere.
Rere mengangguk. Ia tahu dan mengerti maksudku.
"Boneka itu ada di belakang sekolah dan aku masih ingat tempatnya," kata Rere dengan lantang.
Kami langsung pergi ke sekolah. Akhirnya kami menemukannya. Kami langsung membakarnya dan berharap tidak diganggu lagi. Semua bergembira karena terbebas dari permainan aneh itu. Tapi hatiku masih gelisah. Entah kenapa. Ah... sudahlah... toh sekarang sudah berakhir.
Beberapa hari kemudian tidak terjadi apa-apa.
---
Beberapa hari kemudian di pantai
Fiiuh... akhirnya.... tapi apakah mimpi itu menjadi nyata? Aku rasa tidak. Tapi bagaimana jika terjadi... lupakan... lupakan... tenang, tidak akan terjadi apa-apa....
Sudahlah, lupakan semua ini... ah, tapi aku tidak bisa melupakan semua ini....
"Ciciboz yang cantik jangan ngelamun," kata Mars.
"Enggak melamun kok... cuma mikirin sesuatu saja..." kataku.
"Sesuatu itu apa?" tanya Kiki.
"Ekey pernah cerita mimpi aneh itu kan ke kalian berdua, masih kepikiran saja," kataku.
"Sudah, jangan dipikirkan," kata Kiki sambil menepuk pundakku.
"Balik yuk, sudah bosan nih."
Kami semua pun balik. Kali ini aku bareng dengan Rere. Kalau biasanya aku dengan si kembar karena lagi dekat memang sama mereka. Aku juga lagi tidak mau dengan si kembar, takut mimpiku menjadi nyata.
Oh tidak... aku pernah melihat keadaan ini. Tertawa... senyuman... dan keceriaan mereka...
Tiba-tiba kepalaku pusing... semuanya buram... apakah ini mimpi... tidak, ini nyata....
"An... Aan, kenapa? Kamu sakit?" tanya Rere yang menggerakkan bahunya karena aku bersandar di bahunya.
"Enggak apa-apa, cuma pusing," kataku.
"Tenang ya, sebentar lagi pulang kok."
Banyak yang teriak...
Kenapa sih...
Aku mengejap-ngejapkan mataku. Si kembar dan teman-temanku menabrak truk besar.
Tidak mungkin... ini mimpi atau nyata... aku melihat kecelakaan beruntun teman-temanku sendiri.
Semua teman yang berada di depan tubuhnya ke mana-mana. Si kembar (kakaknya) yang paling mengenaskan. Sudah tertabrak dan terlindas pula oleh ban truk lainnya.
Darah di mana-mana. Semua organ otaknya berhamburan. Kepala yang gepeng setelah terlindas.
Mimpiku menjadi nyata. Bayangkan betapa syoknya diriku. Orang terdekatku mati di depan mataku sendiri. Ah... mimpi buruk apa ini. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi kematian mereka.
Maafkan aku, aku terlalu loser untuk menyelamatkan mereka semua. Oke, setidaknya masih ada yang selamat jika aku memanggil ambulans. Ah... di mana HP-ku? Di saat penting ini, aku malah lupa menaruh HP di mana.
"Rere, panggil ambulans... bawa mereka ke rumah sakit terdekat," kataku memerintah.
Rere menelpon ambulans, tapi sayangnya ambulans datangnya lama. Jadi ada tiga anggota yang mati karena kehabisan darah.
Ah, kenapa kepalaku pusing dalam keadaan seperti ini. Dan entah kenapa aku kehilangan kesadaran. Mungkin aku syok. Entahlah...
"Aan, kamu sudah sadar?" tanya Kiki. Aku mengangguk.
"Ke pemakaman umum yuk... jadi kamu bisa perpisahan terakhir kalinya sama teman-teman kita," ajak Kiki.
Saat aku baru bangun, tiba-tiba ibunya si kembar datang. Dia mendorong-dorong tubuhku. Karena terakhir kali aku bersama si kembar pamitan sama ibunya dan ibunya khawatir. Tapi kata si kembar 'tenang aja, kan ada si Chuby di sini jagain kita'.
Fiiuh... kenapa aku disalahkan sih... sekarang ibunya sudah diamani sama Kiki yang bisa bahasa Jepang. Yups... Kiki memang pintar banget. Dan sekarang ibunya si kembar pergi entah ke mana.
Eeiig... ternyata Ekey di UGD.
Lho, suster bawa apa itu...
"Eh... saya sudah sehat kok, Mbak."
"Hmm... teman saya sudah sadar dan tidak perlu rawat inap kok."
"Siapa yang buat teman kamu itu... orang buat adik itu," kata susternya sambil menunjuk ke belakang.
Aku pun melihat ke belakang. Oh, kasihan adik itu... nangis dia... pasti lagi sakit adik.
"Oh iya, yang selamat bagaimana?" tanyaku.
"Pulang ke rumah masing-masing dan ada beberapa yang dirawat di rumah sakit ini."
Aku mengangguk. Kami naik motor ke TPU (Tempat Pemakaman Umum).
Aku mengucapkan salam perpisahan. Sedih. Tapi mau bagaimana lagi. Itu sudah terjadi. Sudahlah... jangan terlarut dalam kesedihan. Semua itu sudah takdir.
Kasihan si kembar. Gara-gara kakaknya meninggal, sang adik menjadi tidak ingin hidup. Terlihat jelas di matanya bahwa ia bosan dengan hidupnya. Mayat sang kakak dikuburkan di Jepang. Dibakar hingga menjadi abu dan baru dimakamkan. Yang sabar ya...
D'GENGX bubar dan para anggotanya saling menyalahkan. Bahkan ada beberapa yang menyalahkan sang ketua.
Ya... diriku... apakah aku salah... ya... aku salah... aku tak becus mengurusi D'GENGX. Aku egois. Seharusnya aku bisa melarang mereka untuk tidak bermain itu. Tapi aku tidak salah sepenuhnya, bukan... aneh...
Aku tidak percaya lagi pada yang namanya sahabat sejati. Sahabat seharusnya saling menyemangati, bukan saling menyalahkan. Apa yang kukatakan benar, bukan?
Ini adalah satu alasan kenapa aku sekarang tidak memiliki teman kecuali hanya teman-teman khayalanku. Dan diriku sekarang semakin aneh... aku juga tidak percaya lagi kepada siapapun... mungkin sekarang aku terlihat seperti anti-sosial.
Padahal tidak juga... terkadang aku juga butuh teman untuk sekadar bercanda... tapi... yah... sudahlah... setidaknya aku masih punya keluarga.
Note : nama asli orangnya saya samarkan karena ada beberapa banyak faktor.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU INDIGO ???
Horror[#100 HOROR 2017]. [#3-10 TRUESTORY 2017-2019]. [#5 INDIGO 2018]. [#2-10 HOROR 2019]. [#1-10 TRUESHORTSTORY Agustus 2019-September 2020]. [#1-100 TRUESHORTSTORY 2016-2022] Ini bukan novel atau pun cerita fiksi tetapi ini adalah pengalaman sang penul...