Pawai

3 0 0
                                    

Hari itu, kampungku bersiap merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Semarak perayaan terasa di setiap sudut desa. Bendera merah putih berkibar di sepanjang jalan, menghiasi setiap rumah, setiap sudut, dan setiap tiang yang ada. Anak-anak berlarian dengan wajah ceria, mengenakan pakaian adat atau seragam merah putih yang sudah disiapkan khusus untuk pawai tahunan.

Pawai 17-an selalu menjadi acara puncak yang ditunggu-tunggu oleh semua warga. Tidak hanya karena ini adalah hari libur, tetapi juga karena pawai ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kreativitas dan kekompakan antarwarga. Masing-masing RT berlomba-lomba menampilkan yang terbaik, dari kostum unik, karnaval, hingga atraksi yang menghibur. Semua ingin tampil memukau dan menjadi yang terbaik di mata dewan juri.

Pagi itu, aku dan teman-temanku bersiap-siap di lapangan desa, titik awal pawai. Kami mewakili RT 03, yang tahun ini memilih tema "Pejuang Kemerdekaan". Aku mengenakan seragam prajurit, lengkap dengan topi dan senapan mainan yang digantung di bahu. Teman-temanku juga mengenakan kostum yang sama, sementara yang lain mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia.

Saat panitia mulai memanggil peserta untuk bersiap, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Meski suasana riuh oleh suara tawa dan obrolan, aku merasakan sejuk yang tidak biasa di tengah teriknya matahari. Angin dingin yang tak lazim berhembus, membuat bulu kudukku meremang. Aku mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa itu hanyalah perasaan gugup sebelum pawai dimulai.

Namun, perasaan aneh itu tidak hilang. Saat kami mulai berjalan mengikuti rute pawai, mataku menangkap sesuatu di sudut pandangku. Di antara barisan warga yang bersorak, aku melihat sosok-sosok aneh berdiri di tepi jalan. Mereka tidak seperti warga lainnya. Wajah mereka pucat, pakaiannya kuno, dan tatapan mereka kosong, seolah-olah mereka tidak benar-benar melihat apa yang terjadi.

"Apa kau lihat itu?" bisikku kepada Rina, teman di sebelahku.

"Lihat apa?" Rina menoleh, bingung.

Aku menggeleng, mencoba mengusir pikiran itu dari benakku. Mungkin aku hanya terlalu lelah atau terlalu bersemangat sehingga halusinasi. Tapi seiring kami melangkah lebih jauh, perasaan itu semakin kuat. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak biasa terjadi di sekitar kami.

Tiba-tiba, suara gamelan terdengar dari kejauhan, mengiringi langkah-langkah kami. Musiknya begitu merdu, namun anehnya, sepertinya hanya aku yang mendengarnya. Langkahku melambat, berusaha mencari sumber suara itu. Aku menoleh ke belakang dan melihat sesuatu yang membuatku terhenti.

Di belakang barisan kami, ada sekelompok orang lain yang ikut dalam pawai. Tapi mereka bukan bagian dari RT mana pun yang kukenal. Mereka mengenakan pakaian yang sangat kuno, seperti dari zaman penjajahan Belanda, atau bahkan lebih tua dari itu. Di antara mereka, aku melihat sosok-sosok yang lebih menyeramkan: wanita-wanita berambut panjang dengan gaun putih kotor, anak-anak kecil dengan wajah pucat dan mata yang kosong, serta pria-pria dengan luka yang menganga di tubuh mereka, seperti bekas luka perang.

Aku merasa jantungku berhenti. Ini bukan peserta pawai biasa. Ini adalah pawai dari dunia lain.

Aku berusaha menenangkan diriku. "Ini pasti hanya imajinasi," pikirku. Tapi ketika aku melihat lebih dekat, aku menyadari bahwa mereka bukan sekadar imajinasi. Mereka adalah arwah-arwah yang sudah lama mati, entah karena apa, dan entah kenapa mereka ikut dalam pawai ini.

Salah satu dari mereka, seorang pria dengan seragam tentara tua dan wajah penuh bekas luka, menatapku. Tatapannya begitu tajam, seolah-olah dia bisa melihat ke dalam jiwaku. Aku tersentak mundur, hampir menjatuhkan senapan mainanku. Pria itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, memandangiku tanpa berkedip.

"Lihat ke depan!" seru salah satu panitia yang mengawasi barisan kami. Aku segera mengalihkan pandanganku, mencoba fokus pada jalanku. Tapi perasaan bahwa aku sedang diawasi oleh lebih dari sekadar warga kampungku terus menghantui.

Ketika kami tiba di depan panggung utama, tempat para pejabat desa dan dewan juri duduk, aku melihat pemandangan yang lebih aneh lagi. Di antara warga yang bersorak dan bertepuk tangan, aku bisa melihat sosok-sosok lain yang sama sekali tidak manusiawi. Mereka berbaur di antara kerumunan, tapi tidak ada yang tampak menyadari kehadiran mereka kecuali aku.

Ada wanita tua dengan wajah keriput yang tertawa tanpa suara, seorang anak kecil yang menangis dengan mata penuh darah, dan seorang pria dengan tubuh yang hampir transparan, seperti bayangan yang terpantul di air. Mereka semua menatap ke arah kami, atau lebih tepatnya, menatap ke arahku.

Jantungku berdegup kencang, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Aku ingin lari, meninggalkan pawai ini, tapi kakiku terasa berat. Aku berusaha tetap tenang, berpura-pura tidak melihat apa pun yang aneh, tapi sulit untuk mengabaikan kehadiran mereka.

Saat pawai kami berakhir dan para peserta mulai berkumpul di lapangan lagi, aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan apa yang kulihat kepada teman-temanku. Tapi sebelum aku bisa membuka mulut, seseorang memanggil namaku.

"Aku tahu kau bisa melihat kami."

Suara itu terdengar begitu dekat, namun ketika aku menoleh, tidak ada siapa pun di dekatku. Namun, di sudut lapangan, aku melihatnya lagi—pria dengan seragam tentara tua itu. Kali ini, dia tidak berdiri sendiri. Di sekelilingnya, sosok-sosok lain yang sebelumnya kulihat di jalan kini berkumpul, menatapku dengan tatapan penuh harap.

"Kami tidak bermaksud menakutimu," lanjut suara itu, yang sepertinya berasal dari pria itu, meski bibirnya tidak bergerak. "Kami hanya ingin ikut merayakan... sama seperti kalian."

Aku tidak tahu bagaimana harus merespons. Bagaimana mungkin aku berbicara dengan makhluk dari dunia lain? Tapi ada sesuatu dalam tatapan mereka yang membuatku merasa iba, seolah-olah mereka adalah jiwa-jiwa yang sudah lama terlupakan, mencari pengakuan dan kebahagiaan di tengah kemeriahan ini.

"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanyaku, meski tidak yakin apakah aku benar-benar ingin tahu jawabannya.

"Kami hanya ingin bersama... untuk sementara," jawab suara itu. "Hanya untuk hari ini, biarkan kami merasakan kegembiraan yang sudah lama kami lupakan."

Aku merasakan gelombang emosi yang aneh, campuran antara ketakutan dan rasa kasihan. Aku tidak tahu apakah yang kulakukan ini benar atau tidak, tapi entah bagaimana, aku merasa tidak bisa menolak permintaan mereka.

"Baiklah," kataku pelan. "Tapi setelah ini, kalian harus kembali ke tempat kalian berasal."

Pria itu mengangguk, dan perlahan-lahan, senyumnya menghilang. Sosok-sosok di sekitarnya juga mulai memudar, lenyap dalam udara dingin yang mulai menyelimuti lapangan. Tapi sebelum mereka benar-benar menghilang, aku mendengar suara tawa kecil, bukan tawa menyeramkan seperti sebelumnya, tapi tawa yang terdengar tulus, penuh kebahagiaan.

Aku berdiri di sana, terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ketika aku kembali sadar, teman-temanku sudah mulai memanggil-manggil namaku, mengajakku bergabung kembali dengan mereka. Aku tersenyum, meski sedikit bingung, dan berjalan kembali ke arah mereka.

Malam itu, setelah pawai berakhir, aku duduk di beranda rumahku, menatap bintang-bintang yang mulai muncul di langit. Angin malam berhembus lembut, membawa kesejukan yang menenangkan. Dalam keheningan malam, aku berpikir tentang apa yang kulihat dan kualami hari ini.

Mungkin, pawai tadi bukan hanya tentang merayakan kemerdekaan. Mungkin, itu juga tentang memberi kesempatan pada mereka yang sudah tiada untuk merasakan kegembiraan yang sama, meski hanya untuk sesaat. Mungkin, itulah alasan mengapa mereka ikut bergabung dalam pawai kami.

Dan mungkin, di suatu tempat di luar sana, mereka masih merayakan dalam diam, di dunia yang tak bisa kita lihat.

Saat aku merenung, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh, dan untuk sekejap, aku melihat pria dengan seragam tentara tua itu berdiri di pinggir jalan, tersenyum kepadaku. Tapi kali ini, tidak ada rasa takut. Hanya ada rasa tenang dan damai. Aku membalas senyumnya, dan dalam sekejap, dia menghilang. 

AKU INDIGO ???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang