teman malam

13 1 0
                                    

Sejak malam mengerikan itu, hidupku berubah. Setiap malam, bayangan wanita dengan senyum lebar dan mata kosong itu selalu hadir dalam pikiranku. Bekas tangan yang membekas di pundakku terus mengingatkanku pada pertemuan singkat namun mengerikan itu. Aku menjadi takut untuk keluar malam, bahkan hanya untuk membeli makanan di warung dekat rumah.

Namun, semuanya berubah ketika aku mulai kuliah di kota. Rutinitas kuliah membuatku sedikit lupa akan kejadian malam itu. Namun, aku tetap menghindari keluar di malam hari. Sampai pada suatu malam, ketika jadwal kuliah yang padat memaksaku untuk pulang terlambat.

Saat itu hampir tengah malam. Suasana kampus sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang masih berada di sekitar kampus. Aku berjalan cepat menuju halte bus, berharap bisa segera sampai di rumah. Ketika aku sampai di halte, aku merasakan perasaan aneh yang dulu pernah kurasakan—seolah-olah ada yang mengawasiku.

Aku berhenti sejenak, mengatur napas, dan berusaha menenangkan diri. "Ini hanya imajinasi," pikirku. Namun, perasaan itu tidak hilang. Aku berusaha mengabaikannya dan duduk di bangku halte, menunggu bus yang tak kunjung datang.

Tiba-tiba, aku mendengar suara tawa kecil. Tawa yang sudah lama menghantuiku. Aku menoleh dengan cepat, dan di seberang jalan, di bawah pohon besar yang gelap, aku melihatnya lagi. Wanita dengan gaun merah, rambut panjang, dan senyum lebar yang tak pernah bisa kulupakan.

Panik menyerangku. Aku ingin lari, tapi tubuhku terasa kaku, sama seperti malam itu. Wanita itu tidak bergerak, hanya menatapku dengan senyum mengerikan di wajahnya.

"Kau... ingin pulang?" suaranya terdengar jelas di kepalaku, meski bibirnya tidak bergerak.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Ketakutan membekukan lidahku. Namun, yang aneh, meski ketakutan itu masih ada, ada sesuatu yang lain dalam diriku. Perasaan aneh, seperti ketertarikan yang tak bisa dijelaskan.

"Jangan takut," katanya lagi. "Aku hanya ingin menemanimu... seperti malam itu."

Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Kenapa... kenapa kau mengikutiku?" tanyaku dengan suara gemetar.

Wanita itu tersenyum lebih lebar, jika itu mungkin. "Karena... aku kesepian. Dan kau... berbeda dari yang lain."

Perlahan-lahan, rasa takutku berubah menjadi sesuatu yang lain—penasaran. Aku tahu seharusnya aku lari, seharusnya aku tidak mendengarkannya, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku tetap di tempatku.

"Berbeda... bagaimana?" tanyaku, suaraku masih bergetar.

"Kau... mendengarkanku," jawabnya. "Tidak seperti yang lain. Mereka hanya lari, bersembunyi, takut... tapi kau... kau mau mendengarkan."

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Benarkah itu? Apakah karena aku tidak sepenuhnya mengabaikan atau menolak kehadirannya? Rasa takutku perlahan memudar, digantikan oleh rasa penasaran yang semakin besar.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyaku akhirnya.

Wanita itu melangkah lebih dekat, meski jaraknya tetap jauh. "Aku tidak ingin menyakitimu... aku hanya ingin berteman. Malam-malam panjang... sering kali sepi dan dingin... Aku bisa menemanimu, jika kau mau."

Pikiranku bercampur aduk. Bagaimana mungkin aku berteman dengan sesuatu yang menakutkan? Tapi entah mengapa, tawarannya tidak terdengar seburuk yang kupikirkan. Ada sesuatu yang mengikat kami, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa takut dan ketakutan.

"Apa yang kau inginkan dariku sebagai teman?" tanyaku, mencoba memahami maksudnya.

"Temani aku," jawabnya. "Bicaralah denganku. Jangan biarkan aku sendirian dalam kegelapan. Dan aku akan selalu ada di sampingmu... melindungimu."

Mendengar itu, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Mungkin karena kesepian yang kurasakan selama ini, atau mungkin karena rasa penasaran yang tak tertahankan. Tapi akhirnya, aku mengangguk perlahan.

"Oke... tapi jangan menyakitiku," kataku.

Wanita itu tertawa kecil, dan senyum di wajahnya berubah menjadi lebih lembut, lebih manusiawi. "Aku tidak akan menyakitimu. Aku akan menjadi temanmu. Di malam-malam yang sepi, aku akan selalu berada di dekatmu."

Sejak saat itu, dia benar-benar selalu ada. Setiap kali aku pulang malam dari kuliah, sosoknya selalu muncul, menemaniku dalam perjalanan pulang. Awalnya, aku masih merasa takut dan canggung, tapi lambat laun, kehadirannya menjadi hal yang biasa. Kami mulai berbicara—tentang apa saja. Dia menceritakan masa lalunya, tentang bagaimana dia menjadi seperti sekarang, dan aku menceritakan kehidupanku.

Semakin sering aku berbicara dengannya, semakin aku menyadari bahwa dia, dalam segala keganjilan dan kengerian, hanyalah makhluk yang kesepian. Makhluk yang terjebak antara dunia ini dan dunia lain, mencari seseorang yang bisa mendengarkan dan menemani.

Dan meskipun dia bukan manusia, entah bagaimana, aku merasa dia adalah satu-satunya teman yang benar-benar mengerti diriku.

Namun, ada satu hal yang selalu dia katakan padaku sebelum kami berpisah setiap malam: "Ingat, jangan dengarkan wanita jelek. Mereka hanya akan membawamu ke kegelapan yang abadi."

Aku tidak tahu apakah itu peringatan untuk orang lain atau peringatan untuk diriku sendiri. Tapi aku selalu mengangguk, mengingatkan diri bahwa meskipun aku telah berteman dengannya, ada batas yang tidak boleh aku lewati.

Sejak malam itu, hidupku berubah. Kini, aku tidak lagi merasa takut berjalan sendirian di malam hari. Ada yang selalu menemaniku, menjaga langkahku. Meskipun dia bukan manusia, dia telah menjadi teman yang paling setia—teman yang datang dari kegelapan, tapi membawa sedikit cahaya dalam hidupku.

Namun, dalam benakku, aku selalu bertanya-tanya: sampai kapan aku bisa menjaga batas itu? Sampai kapan aku bisa tetap menjadi temannya tanpa terjebak dalam kegelapan yang dia bawa? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan pernah mendengarkan wanita jelek. Karena aku tahu, mereka adalah jalan menuju kegelapan yang abadi.

AKU INDIGO ???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang