Part 19

1.1K 67 2
                                    

Candy’s POV

          Justin melepaskan dekapannya dari tubuhku, lantas kembali berkonsentrasi pada SUV yang harus dikemudikannya menuju tempat yang berada entah dimana—yang menurutnya bisa menenangkanku. Aku menyandarkan punggungku ke jok kursi mobilnya yang bersandaran nyaman, dan heran mengapa aku bisa merasa tenang seketika. Persetan dengan onta arab yang di luar sana tengah berkencan dengan cewek kelas knalpot motor butut macam tuh cewek pirang. Ups. Kenapa bisa begini? Bukankah aku sangat mencintai Zayn? Bukankah aku bangga dan merasa bahagia bila berada di dekatnya? Namun kenapa sekarang aku sanggup memaki-makinya? Aku diam. Apakah ini karena kehadiran Justin yang membuatku tak lagi terlalu risau? Ibaratnya, kalau Zayn pergi, aku bisa dengan mudahnya ngembat Justin. Eh. Jangan sampe deh. Masa iya seorang Candeline Summer yang cantik tralala trilili pacaran ama cowok macam kecoak jamban. Dan kalau benar itu terjadi, aku pasti menanggung dua masalah sekaligus. Pertama, aku bakalan menanggung malu sepanjang abad kalau aku sampe pacaran ama nih kecoak jamban, dan yang kedua, si Elle bakal ngirimin hadiah segelas aspal panas dan fruitcake bersianida karena aku sudah merebut cowoknya. Candy? Ngerebut cowok orang? Nggak level yaawwww.

“Udah sampe.” kata Justin tanpa nengok. Aku menghela napas dan melirik keluar jendela mobil. Justin menghentikan mobilnya di depan sebuah ruko kosong dengan kanopi cat cokelat pudar yang hampir runtuh dari bagian atapnya. Di samping ruko tersebut terdapat tangga melingkar yang menurut dugaanku sudah karatan. Kelihatannya tangga tersebut adalah tangga outdoor  yang mengarah pada bangunan atas ruko. Ih. Ngapain sih Justin ngajakin cewek sekece aku ke ruko buluk kayak gini? ya,ya, aku tahu kalau aku lagi patah hati, tapi masa iya solusinya adalah bunuh diri dengan cara lompat dari atap ruko bulukan gini? Dasar Justin. Milih tempat bunuh diri aja nggak bisa nyari yang rada elit dikit. Apartemen kek. Hotel kek. Biar nggak malu-malu amat gitu, kalau berita bunuh diriku dimuat di koran.

“Kamu mau ngajakin aku bunuh diri, Just?” kataku tanpa basa-basi. Justin menoleh ke arahku, dan dalam sekejap tatapan simpati ala malaikatnya lenyap begitu saja, berganti dengan pandangan khas makhluk jamban paling abstrak sedunia. Membuatku langsung enek seketika.

“Kelihatannya kamu udah enggak patah hati lagi. Kita pulang deh.” tangan Justin serentak bergerak untuk menutup pintu mobil, namun dengan cepat aku langsung menahan tangannya. Enggak. Aku belum siap pulang sekarang. Gimana kalau Zayn udah nunggu di depan kamar asrama aku, terus dia nodongin pistol ala agen FBI di pelem-pelem sambil bilang, “Dengerin penjelasan aku atau kamu mati?” Ih amit-amit deh. Mati ketembak pistol mah serem. Mending ketembak upil. Paling cuman rada asin dikit.

          “Jangan!” seruku cepat, “Err, aku belum siap ketemu Zayn.” nada suaraku berubah pelan di akhir kalimat. Justin diam, lantas lima detik kemudian dia membuka pintu SUV nya dan melangkah keluar. Tadinya kukira dia bakalan ngebukain pintu mobil penumpang buat aku, namun ternyata dugaanku itu SALAH BESAR. Justin hanya melenggang keluar tanpa mempedulikanku. Emang dasarnya watak manusia jamban. Enggak bakalan ada kelakuannya yang berkelas dikit.

“Woy, tungguin!” kataku setelah keluar dari mobil dan berusaha mengejar langkahnya. Justin berbalik dan mata hazelnya yang berpendar dalam gelap menatapku. Buset dah. Tuh mata udah kek mata kucing aja, nyala dalem gelap.

“Lelet banget sih.” cercanya.

“Jangan kasar-kasar dong. Gini-gini aku masih menyandang status sebagai gadis yang lagi patah hati.”

“Kau terlalu mencintainya, dan karenanya kau terluka.” kata Justin, mendadak bijak. Aku terdiam. Setdah. Apa mungkin roh Kahlil Gibran tiba-tiba masuk ke dalam badan nih kecoak jamban? Tapi kata-kata Justin itu benar juga. Mendadak aku merasa sedih lagi. Mendadak hatiku terasa perih lagi. Aku berjalan tertunduk, dan mendadak menabrak dada Justin dengan bahuku. Astaga. Ini orang apa kopaja butut? Ngerem ngedadak gitu aja.

Amnesia (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang