Part 39

1K 56 0
                                    

Zayn Malik Point Of View

     Ada ledakan hebat dan seberkas asap berbau mesiu yang mengganggu indra penciumanku. Aku mengerjapkan mataku dan seakan terbangun dari mimpi buruk begitu aku mendengar jeritan tertahan dari wanita paruh baya berambut cokelat pudar yang kemungkinan besar adalah ibu Lavinia. Aku berlutut, melihat senjata berwarna hitam mengilap dengan pelatuknya yang kotor tergeletak di lantai, dan pemuda berjaket denim kumal itu tampak terkejut. Butuh waktu lebih dari semenit untuk menguasai diri sebelum akhirnya aku menemukan ada sosok lain yang berlutut dengan kaki terlipat di lantai putih yang menguning selain si lelaki berjaket denim. Lavinia.

Dia berlutut, dengan cairan merah kental yang meleleh mengalir di sekitar kakinya. Posisinya membelakangiku, karena dia tengah menghadap ke arah ibunya yang menutup mulut dengan sebelah tangan sambil meneteskan sebutir air mata bening di pipinya yang kusam, namun dari gestur tubuhnya, aku tahu dia mulai kehilangan keseimbangan. Dan dia tidak akan bisa bertahan lama untuk tetap berlutut seperti itu.

     “Lavinia,” Aku mendesis dalam suara yang nyaris tidak terdengar, dan secara refleks langsung memekik begitu melihat tubuhnya terhuyung ke samping. “Lavinia!” aku menjerit, kemudian menghambur ke arahnya, dan membiarkan tubuhnya bersandar dalam rangkulanku yang menghalanginya sebelum kepalanya membentur lantai. Begitu aku menyentuh bahunya, aku merasakan tangannya balas menyentuh lenganku. Tangan yang basah karena darah yang hangat. Aku mengernyit sambil berusaha menahan air mataku begitu aku menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Dia terluka. Gadis yang kini berada sangat dekat denganku telah terluka karena peluru yang keluar dari magasin senjata milik lelaki berjaket denim itu.

Lavinia mengerjap dengan cepat, hingga kulihat air mata bergulir dari sebelah kelopak matanya. Dia mencengkeram erat lenganku hingga sidik jarinya yang berwarna merah darah tercetak dengan jelas disana. Aku menggigir bibirku, berusaha menahan perasaan pedih yang entah mengapa mulai merambati sekujur tubuhku. Wajah gadis itu pucat, dengan cahaya kehidupan yang makin lama makin memudar dari lensa matanya. Ibunya hanya bisa membeku sambil menatap kami, dan bahkan wanita paruh baya itu tidak punya pikiran sama sekali untuk menghampiri puterinya yang nyaris sekarat.

“Bertahanlah.” Aku mendesis padanya, “Kau dengar aku? Bertahanlah.” Aku tidak tahu mengapa, tapi ketika aku memohon padanya, rasanya aku memohon dengan mempertaruhkan seluruh hidupku. Rasanya seperti aku akan memberikan apapun padanya. Memberikan apa yang bisa membuat senyuman selalu ada di wajahnya setiap hari. Agar dia bisa kuat menghadapi ini semua, dan kembali bisa menatapku dengan matanya yang menyorotkan sinar kegembiraan. Dengan wajahnya yang memerah ketika dia tertawa. Bukan wajah pucat seperti orang yang nyaris mati seperti sekarang.

Tapi Lavinia tidak menjawab. Dia hanya mencengkeram lenganku lebih kuat, kemudian tersenyum. Lekat dan dalam. Lantas perlahan gadis itu menutup kedua kelopak matanya,lalu tangannya terkulai dengan lemah ke lantai seiring dengan helaan nafas dan detak jantungnya yang terhenti. Aku menepuk pipinya, kemudian meraih tangannya yang telah terjatuh di atas genangan darahnya sendiri sambil memanggil namanya. Sambil meneriakkan nama tengahnya, namun dia tetap menutup matanya seakan tengah tertidur dalam sebuah tidur panjang yang tidak akan bisa diganggu oleh siapapun. Bahkan oleh aku. Aku memejamkan mataku dan setetes air mata bergulir melewati pelupuk mataku sebelum akhirnya jatuh mengalir di pipiku. Lavinia tidak akan bangun lagi. Dia telah pergi. Dengan cara yang mudah. Dengan cara yang tak terpikirkan. Dengan cara yang sia-sia. Aku memejamkan mataku lagi. Kali ini lebih lama, dan padang dandelion dengan desiran angin mengingatkanku pada piano dan simponinya yang indah. Aku sempat berharap bahwa aku akan mendengarkannya memainkan lagu-lagunya yang lain untukku, namun ternyata hanya itu yang sempat kudengar. Dandelion dan Ommani.Piano. Frank. Cahaya matanya. Rasanya baru tadi aku merasa senang karena telah mengenal dirinya jauh lebih dalam, dan sekarang aku telah kehilangan kesempatan mendengar cerita tentangnya sekali lagi, karena dalam samar dia telah pergi.

Amnesia (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang