Zayn Malik menatap sosok wanita berambut cokelat pudar di hadapannya. Georgia Reed. Mata hitam Zayn menelusuri setiap inci dari wajah wanita paruh baya itu, dan mendapati ada gurat kemiripan antara wajah Georgia dan wajah Lavinia. Yang membedakan hanyalah warna rambut dan warna mata Lavinia yang menurut Zayn kemungkinan besar serupa dengan ayahnya. Zayn menghela napas. Mengingat Lavinia mendadak membuat rongga dadanya begitu sesak. Dia bahkan baru mengenal Lavinia selama satu setengah bulan belakangan, dan sulit mempercayai bahwa gadis itu telah pergi. Zayn tidak mau percaya pada kenyataan bahwa Lavinia sudah tidak lagi menghirup udara yang sama dengannya, meskipun dia tau itu kenyataan.
“Ms. Georgia Reed, apakah kau bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi?” suara officer William Dalton memecah keheningan yang mengambang selama beberapa saat di ruangan bercat putih yang dipenuhi bau antiseptik yang khas. Baunya menggelitik ujung indra penciuman Zayn, dan membuatnya merasa benci setengah mati. Bau antiseptik selalu mengingatkannya pada rumah sakit, dan Zayn selalu benci pada rumah sakit. Sebuah tempat yang mengandung banyak keputus-asaan dan harapan yang lenyap, entah karena penyakit. Atau kecelakaan. Atau aroma kematian. Dan hal itu mengingatkan Zayn bahwa dia telah menyaksikan dua kematian hari ini.
Lama tidak terdengar suara. Bibir wanita setengah baya itu bergetar selama beberapa saat, lalu dia terisak. Bicaralah, bisik Zayn perlahan. Bicaralah. Dia telah cukup lelah mengalami ini semua. Terkurung dalam sel khusus yang meskipun cukup bersih namun mencederai mentalnya. Dia bukan pembunuh. Mereka harus tahu bahwa ia hanya menuntaskan apa yang bakal dia lakukan nantinya. Bukan masalah jika Zayn tidak menembak lelaki berjaket denim itu di kediaman Georgia Reed, karena jika hal itu terjadi, dia akan mencari lelaki itu kemanapun bahkan hingga ke penjuru dunia untuk meledakkan kepalanya di lain waktu. Dia hanya melaksanakan tugas yang memang harus dia laksanakan. Zayn memandangi kepalan tangannya yang kosong yang masih ternoda bercak-bercak darah kemudian menghela napas perlahan.
Untuk Lavinia.
“Sepertinya dia belum bisa menceritakan apa yang terjadi tanpa merasa takut.” Desah Officer Dalton, “Baiklah, Ms. Reed, kau akan kembali ke bangsalmu, sementara Mr. Malik akan dipulangkan kembali ke selnya.” Kepala Dalton tertuju pada Zayn, “Maaf.”
“Aku baik-baik saja.” Kata Zayn meskipun kenyataannya tidak. Mata gelapnya tertuju pada ibu Lavinia yang tampaknya telah menggigiti habis kuku-kukunya untuk meredam rasa takut dan trauma yang menggelayuti wanita itu, “Dan semoga kau lekas sembuh, Mrs. Luck.”
Apakah ini salah atau benar? Zayn melihat mata Georgia meredup begitu dia memanggil wanita itu dengan sebutan lama yang pastinya telah tidak terdengar selama puluhan tahun semenjak dia bercerai dengan semuanya. Apakah ucapan Zayn membuatnya sedih karena masa-masa indah selama wanita itu menjadi Georgia Luck sesungguhnya telah lewat, dan semuanya telah berubah sekarang. Ya, semuanya telah berubah. Dua orang Luck telah pergi. Mr. Luck. Dan Lavinia Luck. Wanita itu pasti berada dalam tekanan yang besar sekarang. Zayn mendesah perlahan dan bangkit dari bangku metal yang didudukinya. Lelaki itu baru saja akan berjalan menuju pintu keluar ketika suara Georgia yang parau dengan nada perih yang kentara membahana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amnesia (by Renita Nozaria)
Fanfiction"When you lost most all of your memories, your head's spinning round and your enemy becomes your beloved one." I do NOT own this story. Just read my bio. And don't forget to hit the follow button._. Author : Renita Nozaria Title : Amnesia Genre : Co...