Part 37

1K 58 0
                                    

Ellenia Johnson Point Of View 

Pagi yang lainnya. Aku menghela napas sembari merangkak turun dari tempat tidur kemudian menatap pantulan diriku sendiri di cermin. Aku tampak pucat karena latihan drama yang harus kuikuti sebagai konsekuensi keikutsertaanku di dalamnya, juga segala latihan Cheers yang begitu membutuhkan banyak tenaga. Aku menghela napas lagi seraya memperhatikan kedua teman satu kamar asramaku yang masih terlelap di ranjang mereka masing-masing. Mereka tampak terhanyut dalam buai alam mimpi mereka sendiri, dan terus terang saja itu membuatku iri. Mereka bisa tidur dengan nyenyak, sementara aku? Berapa jam aku tidur semalam? Oh well lupakan saja. Tidak akan ada pengaruhnya sama sekali. 

Aku memutuskan mandi dan membiarkan terpaan air shower yang hangat menjatuhi kulitku. Aku benci air hangat, sebetulnya. Tapi mandi dengan air dingin di pagi buta seperti ini hanyalah satu dari kesalahan-kesalahan besar yang bakalan kulakukan. Bisa-bisa sekujur tubuhku menggigil kedinginan seakan aku baru saja terkurung dalam bagasi es pabrik es krim. Aku memilih mengalah dan membiarkan air itu mengalir menyentuh setiap inci permukaan kulitku yang seakan berubah jadi seperti mentega pagi ini. Tetesan air itu seolah bisa melukaiku, sehingga membuatku meringis walaupun aku tahu itu hanyalah ilusi pikiranku belaka. Hangat air ini mengingatkanku pada hangat air mata yang tertumpah di atas pipiku yang membeku di sore terakhir aku bertemu Justin. 

Oh ya soal Justin, aku tahu dia sudah pulang kemarin pagi, dan bersama Candy. Mereka baru saja menghabiskan waktu bersama di Venesia dan sulit untuk tidak menduga bahwa pasti terjadi sesuatu diantara mereka. Sejujurnya hal inilah yang kutakutkan sejak dulu. Candy seperti magnet yang sanggup menarik siapapun, dan hanya dalam waktu dua minggu bersamanya, Justin bahkan tampak… dia jadi tampak bukan seperti Justin yang kukenal dahulu. Setidaknya, Justin yang dulu tidak akan membiarkanku terluka sendirian seperti ini, sementara sekarang? Dia bahkan tidak menemuiku. Dan aku tidak punya alasan yang bagus untuk bisa menemuinya. Ini menyakitkan. Tapi aku justru tertawa sumbang di bawah terpaan air shower yang semakin menderas. 

“Els, kau baik-baik saja? Apakah terjadi sesuatu di dalam sana? Apakah kau terluka?” sebuah suara alto yang telah sangat kukenal membuyarkan lamunanku. Itu pasti suara Kate, salah satu teman sekamarku yang paling mengerti aku dan paling sering menghiburku, sementara temanku yang lain, Mildred hanya bergumam tidak jelas jika aku mengeluhkan hubunganku dengan Justin. Oh ralat—aku dan Justin bahkan sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. 

“Aku baik-baik saja, Kate. Kau tidak perlu khawatir. Aku akan keluar sebentar lagi,” jawabku, dan lima menit setelah berbicara begitu pada Kate, aku keluar dari kamar mandi dengan jas kamar mandiku. Rasanya sekujur tubuhku seperti dialiri timah pagi ini, hingga untuk mengeringkan tubuh dan memakai jas kamar mandiku pun membutuhkan waktu yang sangat lama. 

“Apakah kau sudah menemuinya?” Aku sedang akan mencolokkan stop kontak pengering rambutku ke sumber listrik yang ada di dinding ketika Mildred yang biasanya hanya diam dalam menanggapi semua masalahku bicara. Aku memandangnya lewat cermin riasku dan mendapati sebelah alis tebalnya terangkat. 

“Siapa yang kau maksud?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Bodoh, tentu saja Justin Bieber, aku membatin dalam hati. Ah tentu saja aku ingin menemuinya. Aku terakhir kali melihatnya lima belas hari yang lalu, dan tentu saja aku berharap bisa melihatnya dalam waktu dekat ini. Tapi siapa aku? Apa aku punya alasan untuk menemuinya lagi? Dan bagaimana dengan Zayn? Apakah dia sudah menemui Candy dan Justin? Pikiranku sedikit terarah pada lelaki berambut hitam itu. 

“Oh tentu saja Justin Bieber,” Mildred meniup poni pirang yang jatuh di dahinya, “Apakah kau mencoba berpura-pura tidak mengerti akan apa yang kubicarakan, Ellenia Johnson?” 

“Tentu saja aku tidak.” Aku membuang napas seraya mengeringkan rambutku yang lemas karena basah, “Aku—erm, aku belum menemuinya. Maksudku, tentu saja aku tidak akan menemuinya.” Aku mengangkat bahu. Berusaha tampak tidak peduli. 

“Apakah kau tidak merindukannya?” DEG. Satu kalimat dari Mildred Madison yang sekarang menatapku dengan bola matanya yang cokelat kemerahan melalui cermin riasku itu seakan mampu menendang jantungku hingga nyaris turun ke lantai. Apakah aku merindukannya? Oh apakah definisi rindu itu sendiri? Jika rindu berarti bahwa aku ingin menemuinya dan memeluknya karena aku menginginkan dekapannya yang telah lama kurasakan, pada kenyataannya aku memang merindukannya. 

Ya. Pikiranku menjawab tanpa sadar. Ya, aku merindukannya. Tapi aku menghela napas kemudian berbalik dan menatap Mildred dengan mataku, “Tidak sama sekali. Dan berhentilah membicarakan Justin Bieber. Dia hanya—well, Mildred, kau mengerti kan kalau aku tidak sedang ingin membicarakan tentang ini?” 

“Tentu.” Mildred mengangkat bahu hingga rambutnya yang pirang panjang bergerak pelan, “Tapi, Els, kupikir bukan hal yang baik jika kau terus lari dari masalah.” 
Aku membasahi bibir bawahku dan menatapnya, “Aku sudah menyelesaikan masalahku dan aku tidak sedang melarikan diri dari apapun.” 

“Begitukah? Jika memang begitu, kenapa matamu masih tampak redup dan tak seceria dulu?” 

“Itu…” Aku belum memikirkan kalimat jawaban yang bisa kulontarkan pada Mildred ketika mendadak pintu utama kamar asrama kami terkuak dan Kate berdiri di ambang pintu dengan napas tersengal yang tidak kumengerti apa penyebabnya. 

“Oh Elle, aku tidak bisa bilang ini padamu—tapi kau harus tahu sesuatu. Kepala asrama wanita menemukan Candy dan Justin dinihari tadi. Dan mereka tertidur bersama di aula tengah asrama yang kita tinggali ini.” Aku melihat Kate meremas bagian depan baju yang dipakainya, seakan menahan agar jantungnya tidak terlonjak jatuh lantas keluar dari rongga dada sendiri. Sementara aku? Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya melepaskan peganganku pada pengering rambut yang langsung menghantam lantai kayu halus kamar asrama kami. Apakah Justin benar-benar telah melupakanku? Apakah dia memang telah sungguh-sungguh berpaling pada Candy? Ini… benar-benar tidak mungkin. 

*** 
Author’s View 

“Oh Caitlin Victoria Beadles, berhentilah bicara seakan-akan aku sudah melakukan sebuah hal yang sangat salah!” Candy berseru pada gadis berambut cokelat panjang yang berada di hadapannya. Caitlin membuang napas sambil memutar bola mata lalu berkacak pinggang di hadapan Candy. Candy benci ini, karena Caitlin dan Miley memperlakukannya seakan-akan dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang terlalu besar untuk bisa dimaafkan. Padahal kenyataannya, dia dan Justin sama sekali tidak melakukan apa-apa. Ini semua hanya kesalahpahaman yang dilebih-lebihkan oleh Ms. Jill Ingham—kepala asrama wanita—dan terlanjur menyebar ke seantero sekolah seperti sarang lebah yang disenggol. 

“Aku tidak menganggapmu bersalah. Tapi demi Tuhan, Candeline, mengapa kau bisa sampai tertidur bersama Justin di aula tengah asrama wanita? Aku dan Miley akan dengan cepat melupakan apapun yang telah terjadi karena kami percaya padamu, tapi bagaimana dengan yang lain?” Caitlin menghela napas sambil memandang Candy dengan matanya yang biru transparan. Candy mengerutkan kening sambil balas menatap Caitlin sementara Miley berdiri diantara mereka berdua, dengan rambut panjangnya yang masih acak-acakan karena belum tersentuh sisir sama sekali. 

“Aku tidak peduli ucapan orang lain.” kata Candy dengan nada tidak yakin, “—maksudku, aku dan Justin sama sekali tidak melakukan apapun, dan kepala sekolah mengizinkan kami untuk berada disana semalam.” 

“Hanya untuk bermain Truth Or Dare.” sembur Caitlin cepat. Gadis itu memang sangat sensitif jika membahas hal-hal yang keluar dari jalur aman, seperti membayangkan Candy yang tidur bersama Justin di aula. Dia dan pacarnya, Logan adalah pasangan yang kelewat religius dan menjadi jemaat gereja paling rajin yang pantas dihadiahi parsel karangan bunga dengan tumpukan fruitcake aneka rasa ketika hari Natal tiba dari pastur setempat. Yeah, dia benar akan banyak hal namun harus diakui Caitlin agak berlebihan dalam menyikapi gosip yang satu ini. 

“Dengan catatan kalian tidak akan melakukan apapun yang dapat melanggar peraturan sekolah.” tambah Miley, “Meskipun aku tidak yakin bahwa ada peraturan sekolah yang melarang siswanya melakukan hubungan seks di sekolah.” katanya dengan nada mendengkur dan mata menerawang ke atas seakan tengah membayangkan sebuah hal dalam pikirannya, sementara Caitlin langsung berseru pada Miley. 

“Oh Miley, berhenti berpikir kotor tentang dirimu dan Liam!” 

“Oh ya ampun! Hentikan semua diskusi tak berguna ini!” Candy memotong dengan wajah memerah, “Aku, dan Justin sama sekali tidak melakukan apapun. Dia hanya memelukku dan kami tertidur bersama. Ingat ya, hanya tertidur bersama dengan pakaian yang masih lengkap. Aku dan dia sama sekali tidak melakukan apapun. Mungkin aku memang bukan jemaat gereja yang rajin seperti Caitlin dan bukan pemakai purity ring seperti Carmen dan Charlotte Salvatore, tapi aku tidak akan melakukan hal yang di luar akal sehat seperti itu.” 

“Aku percaya padamu, tapi gosip ini telah menyebar terlalu jauh dengan bumbu-bumbu tambahan yang hanya membuat suasana semakin keruh.” Caitlin bergumam, “Dan aku penasaran langkah apa yang bakalan diambil kepala sekolah kita dalam menyikapi hal ini. Well, kau tahu kan kalau anak kepala sekolah sendiri yang terlibat dalam kasus ini.” 

“Aku sependapat denganmu.” kata Miley pada Caitlin, lalu gadis itu berpaling pada Candy yang masih terduduk dengan ekspresi yang sukar ditebak. “Kenapa mendadak semua ini menjadi rumit? Dan kenapa kalian bisa tertidur bersama. Kau tahu, apa susahnya sih berjalan kembali ke kamar asramamu sendiri dan membiarkan Justin kembali pada Harry dan Zayn? Kenapa kalian justru menciptakan gosip yang tidak enak seperti ini?” 

“Itu…” Candy diam sejenak, “Itu adalah konsekuensi dari permainan Truth Or Dare yang kami mainkan. Dia menyuruhku tidur bersamanya sepanjang malam di aula. Itu saja.” 

“Sungguh aku percaya bahwa kalian tidak akan melakukan hal itu,” ujar Caitlin, “Namun aku tetap menyalahkan kalian. Reputasi Ripcurl bisa berubah buruk hanya dalam sekali jentikan jari karena ulah kalian berdua yang errr… terlalu kekanak-kanakan.” 

“Aku sudah cukup puas mendengar kalimat-kalimat kalian yang begitu memojokkan.” Candy mengangkat bahu dengan ekspresi sebal yang kentara di wajahnya, “Berikan aku waktu untuk membela diriku sendiri, oke? Kalian berlagak seperti hakim dan jaksa yang tengah menuntutku. Aku cukup menghargai petuah kalian yang seperti mengguruiku itu, dan Ms. Miley Sok-Pintar Cyrus juga Ms. Caitlin Bawel Beadles, bisakah kalian memberi tahuku apa yang bisa kulakukan untuk menyelesaikan ini semua?” 

Caitlin berpikir selama beberapa saat, “Urm yea? Kupikir, jika kepala sekolah mempertimbangkan banyak hal dan bersikap bijaksana untuk menghadapi semua kerumitan ini, dia akan melakukan apa yang ada di pikiranku.” 

“Apa?” sela Candy cepat. Alih-alih Caitlin yang menjawab, kali ini justru Miley yang bersuara. 

“Kau sudah berumur tujuh belas tahun, kan, Candy?” 

“Tentu saja.” 

“Dan tentu saja dia akan melakukan hal itu.” 

“Apa?” 

Caitlin tersenyum hambar sebelum akhirnya membuka mulutnya, “Dia akan… menyuruhmu menikah dengan Justin.” 

*** 
Justin Bieber Point Of View 

Aku menatap pria setengah baya yang kini memandangku dengan lensa cokelat karamelnya yang beku. Aku membuang napas kemudian memaksakan diri balas menatap matanya walaupun sorot redup dalam matanya amat sangat menggangguku. Aku sangat membencinya, dan mungkin karena aku begitu membencinya, aku baru menyadari bahwa Ayahku memiliki banyak kemiripan denganku. Atau aku yang sesungguhnya sangat mirip dengannya? Aku tersenyum hampa. Mungkin jika dulu ada orang yang bertanya begitu, aku akan menjawab dengan tegas bahwa aku tidak mirip ayahku. Sama sekali tidak. Namun sekarang, diam-diam dalam hati aku berbisik iya. Aku memang mirip dengannya. Kami sama-sama memiliki rambut berwarna cokelat keemasan yang pudar dan warna mata yang senada dengan lelehan karamel. Dan kami juga punya rekor yang sama dalam hal menyakiti hati seorang wanita. Ayahku menyakiti seorang wanita bernama Rosemary Hardwood. Dan aku menyakiti seorang gadis bernama Ellenia Johnson. 

“Apa maksudmu melakukan itu semua?” tanyanya dengan dingin dan menohok. Dari bahasa tubuhnya, aku tahu bahwa dia marah. Seumur hidupku, ayahku tidak pernah marah padaku. Bahkan dia tidak membentakku ketika aku sama sekali tak mempedulikan keberadaannya atau bahkan menganggapnya selayaknya sampah. Dia tidak pernah mendelik padaku. Namun sekarang, setelah aku melakukan sesuatu yang menurutnya memalukan nama sekolah yang dipimpinnya, dia membentakku dan mendelikkan matanya yang bersorot beku padaku dengan sepenuh hati. 

“Pardon?” Aku mengangkat alisku, “Aku tidak melakukan apapun. Sama sekali tidak melakukan apa-apa. Aku tidak akan pernah melakukan hal yang diluar akal sehat seperti itu padanya. Aku menghormatinya, dan aku akan mengambilnya secara baik-baik dari ayahnya untuk memilikinya. Bukan mencuri sesuatu yang selama ini telah dia jaga. Aku tidak peduli pada penilaianmu, tapi setidaknya aku telah mengatakan apa yang kutahu,” 

“Aku memberimu izin menghabiskan jam malammu di aula Girls Dorm bersama Ms. Summer untuk melakukan permainan konyol itu, dengan catatan kalian akan memainkan sesuatu yang masuk akal, bukan akhirnya jatuh tertidur bersama di aula Girls Dorm. Kau membuat sekolah ini malu. Kau membuatku malu.” 

“Aku tidak menyangka kau masih punya malu.” Aku mengangkat bahu, “Kau pergi dan mendadak masuk ke dalam kehidupanku dan ibuku tanpa rasa malu sedikitpun.” Dan itu memang benar. Dia pergi meninggalkanku yang masih belajar berjalan bersama ibuku yang rapuh dalam menghadapi dunia untuk sosok jalang seperti Melisa Osborn. Punya anak lelaki lain dan bahagia tanpa memikirkan ada anak lelakinya yang lain di luar sana yang merindukan figur seorang ayah. Lantas begitu Lisa meninggal, dia membawa anaknya untuk kembali dan mengacak-acak kehidupanku dan ibuku yang telah sempurna. Dan bodohnya ibuku menerimanya kembali. 

“Aku tidak berminat membahas itu.” 
“Kau tidak berminat untuk membahas dosa yang telah kau lakukan pada kami?” 

Aku melihatnya menghela napas dalam-dalam selama beberapa saat, “Aku tahu kau tidak akan pernah bisa memaafkanku. Kau tidak pernah bisa menganggapku sebagai ayahmu. Dan karenanya, sebagai kepala sekolah aku memintamu untuk mendengarkanku sekarang juga, Justin Drew Bieber. Aku tahu mungkin hubungan seks di luar nikah adalah sesuatu yang lazim bagi kalangan muda jaman sekarang, tapi tidak bagiku. Tidak buat siswa di sekolah yang kupimpin. Dan semua gosip yang terlanjur tersebar ini membuatku malu.” 

“Salahmu tak pernah ada ketika aku membutuhkanmu.” kataku tajam, “Dan yeah, aku tahu itu. Kupikir kau juga perlu tahu bahwa hubungan seks di luar nikah hanya dilakukan pria brengsek dengan pikiran pendek, dan aku bukanlah pria brengsek dengan pikiran pendek. Aku tidak melakukan apapun.” 

“Tapi gosip telah tersebar, dan untuk memulihkan nama baikku sekaligus mengembalikan kehormatan sekolah, kau harus melakukan satu hal, Justin.” 

“Apa?” 

“Menikahlah dengan Candy.” 

Aku tercekat sebelum akhirnya melebarkan kelopak mataku sambil memandang lelaki paruh baya yang berdiri beberapa meter di depanku. Aku menatap matanya yang sendu sebelum akhirnya menjawab dengan tegas. “Tidak.” 

___

Amnesia (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang