Part 24

1.1K 68 0
                                    

—Justin Bieber POV—

          “Karena dia adalah tunanganku.” DEG. Sontak aku langsung membelalakkan mataku ketika aku mendengar ucapan Candy dan dengan keterkejutan yang masih membayangi benakku, aku menatap gadis berambut hitam itu, berusaha meneliti apakah dia masih baik-baik saja—atau kepalanya terbentur cukup keras sehingga dia tampak begitu idiot sekarang. Ya, idiot. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa aku adalah tunangannya sementara nyaris tidak ada hubungan romantis diantara kami berdua selama ini—oh well, ralat. Aku pernah menghibur dan memeluknya ketika dia patah hati. Tapi itu bukan berarti kan kalau lantas dia bisa menganggap aku sebagai tunangannya dan aku bisa menganggapnya sebagai tunanganku. Blush! Wajahku seketika memerah begitu menyadari rasa senang yang muncul dalam pikiranku. Bodoh! Rutukku dalam hati. Ini semua tidak mungkin terjadi, Justin! Tidak mungkin. Kau tidak mungkin mencintainya—oh baiklah, aku mungkin menyayangi Candy. Aku peduli padanya. Namun untuk menjadi sepasang kekasih bahkan tunangan seperti yang Candy katakan? Itu tidak mungkin. Ada Zayn dan Elle yang jelas akan tersakiti jika semua itu terjadi.

“Candeline Persie Summer, apa yang terjadi padamu?” desah Ave seraya melangkahkan kaki jenjangnya mendekati Candy yang berusaha menjauhkan dirinya dari Zayn. Aku melirik Zayn dan mendapati ekspresi aneh yang begitu kentara di wajahnya yang dipenuhi memar besar.

          “Aku baik-baik saja, Ave. Aku bersungguh-sungguh. Seharusnya aku yang bertanya, kenapa lelaki ini memelukku dan mengatakan bahwa aku adalah kekasihnya? Itu sungguh tidak mungkin. Justin! Jangan diam saja disitu! Mendekatlah kesini!” seruan Candy membuat tubuhku mengejang selama beberapa detik, dan lantas aku menghela nafas sebelum akhirnya mendekat pada Candy. Gadis itu tersenyum lebar dengan pendar riang di matanya yang cokelat gelap. Dia tampak begitu gembira, dan membayangkannya tersenyum selebar itu karena aku… rasanya menyenangkan. Tidak pernah kubayangkan aku bisa merasakan rasa senang yang meletup-letup seperti ini.

Candy membungkuk dan memeluk pinggangku, namun sedetik kemudian dia mengerang sambil memegangi kepalanya. Ave mengerjap terkejut sementara aku dan Zayn langsung menanyainya dengan serempak dan dalam ketergesaan yang nyaris sama. Sialan. Zayn menyipitkan matanya sambil mendelik seakan mengatakan kau-tidak-berhak-ikut-campur. Namun aku tidak peduli. Dialah yang tidak berhak. Beraninya lelaki macam dia yang telah dengan lancangnya membuat Candy menangis memunculkan kembali wajahnya yang menyebalkan disini. Sial. Aku berusaha menahan amarahku, karena jika tidak aku akan menonjoknya lagi. Yeah, aku akan menonjoknya lagi, tapi tidak disini. Setidaknya tidak di hadapan Candy.

          “Sebaiknya kita panggil dokter.” kata Ave sembari melangkah keluar kamar.

Candy berseru menahannya, “Tidak perlu, Ave! Aku baik-baik saja!” namun Avecinna sudah terlanjur melangkah keluar kamar guna memanggil dokter yang menangani Candy di rumah sakit ini. Candy bersungut-sungut sebentar namun dia kembali ceria ketika aku bergumam menyebutkan namanya.

“Justin, mengapa aku disini? Err, aku ingin pulang. Kita akan pulang kan?” tanyanya. Aku diam sebentar kemudian tanpa bisa kukontrol tanganku terulur ke arah ujung rambutnya yang tergerai lantas menyentuhnya selama beberapa saat.

“Kau kelihatan buruk.” kataku dengan nada geli, “Kita akan pulang, tapi nanti.” aku melanjutkan ucapanku seakan apa yang dikatakannya adalah kenyataan. Bahwa memang benar kalau dia adalah tunanganku. Bahwa kami adalah sepasang kekasih. Aku merutuk dalam hati lagi ketika rasa senang itu muncul dalam hatiku. Aku pasti akan masuk neraka karena telah melanggar sumpahku sendiri dan menyakiti orang lain. Elle dan Zayn. Namun sedetik kemudian sebuah pikiran menghantamku. Itu bukan masalah. Setidaknya aku bisa merasakan bagaimana menyenangkannya ketika aku menyentuh uraian rambut hitam gadis yang duduk di hadapanku sekarang.

Amnesia (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang