Part 23

1.2K 75 0
                                    

—Ellenia Johnson POV—

          Aku membuang pandang keluar kaca jendela mobil. Mobil melaju dengan cukup kencang, dan akibat dari kecepatan mobil, tepian jalanan besar yang kami lewati jadi kelihatan kabur. Gedung-gedung dan pepohonan di sisi jalan tampak seakan berlarian mengejar sesuatu yang tak pasti di belakang kami. Aku menghela nafas, kemudian menoleh ke sisi kiriku, tempat dimana Zayn mengemudikan Ferarri nya dengan ketegangan yang terlihat jelas. Keseriusan membayang di bola matanya yang cokelat gelap, dan setiap kali kami terlalu terlambat untuk melewati lampu lalu lintas sehingga kami harus menunggu lampu menghijau kembali, Zayn kelihatan sangat frustasi dan memaki perlahan sambil memukul roda kemudinya. Aku memejamkan mataku. Seraut wajah terbayang di benakku saat itu juga. Justin. Apakah dia baik-baik saja? Aku mendengar kabar bahwa terjadi kecelakaan dalam sebuah photoshoot, dan secara tidak terduga Candy lah yang mengalami kecelakaan itu. Ave bilang kalau Justin berhasil menolong kakaknya, namun jauh di dalam hatiku aku berpikir bahwa bukan berarti Justin baik-baik saja. Mungkin saja lelaki itu terbentur atau terluka ketika hendak menolong Candy.

“Shit!” Zayn memaki begitu dia melihat antrean panjang kendaraan yang berbaris menunggu lampu merah kembali menghijau di depan mobil yang kami tumpangi. Zayn membuang nafas seakan mengingatkan dirinya sendiri untuk menahan emosi, lantas dia mengangkat tangan guna menghapus titik keringat yang bermunculan di keningnya.  Aneh. Pendingin mobil ini tentu sudah cukup sejuk untuk menghindarkan kami dari kemungkinan keringat akibat udara panas. Namun aku tidak bisa mengatakan pendapatku soal keringat Zayn karena pada kenyataannya akupun mulai merasakan keringat dingin bermunculan di pelipisku.

          “Kita akan bisa menemui mereka. Percayalah.” kataku seraya memandang lelaki berambut hitam yang duduk dengan gestur tidak nyaman di sampingku. Zayn terdiam, dan dia menatapku dengan iris matanya yang berwarna gelap. Aku balas menatapnya, menyelidik setiap inci wajahnya yang baru kusadari dipenuhi memar-memar berwarna biru gelap—sebagian memar lagi berwarna ungu pucat. Sepertinya dia baru saja habis dipukuli. Tapi oleh siapa? Sesaat nama Justin terlintas dalam pikiranku, namun pada detik itu juga aku menggeleng. Tidak. Tidak mungkin. Justin tidak punya alasan yang cukup bagus untuk bisa memukuli Zayn separah itu. Apalagi, Zayn adalah sahabat dekat Justin. Mereka berdua menempati kamar asrama yang sama bersama Harry Styles.

          “Aku tidak tahu.” kata Zayn seraya menginjak pedal gas. Mobil mulai merayap pelan, bergabung dengan kepadatan jalan raya kota Riverview yang selalu diselimuti mendung dan udara yang dingin, “akhir-akhir ini hubunganku dengan Candy tidak terlalu baik. Well, terjadi sedikit salah paham diantara kami—err, maksudku sebuah kesalah pahaman yang besar. Kupikir Candy membenciku.”

“Candy tidak mungkin membencimu.” selaku cepat. Terlalu cepat. Aku berdehem sebentar untuk mempersiapkan suaraku, lantas meneruskan kata-kata yang baru saja aku lontarkan, “Dia sangat mencintaimu, Zayn. Dan lagi, apakah dia punya alasan untuk bisa membenci pemuda yang baik dan menakjubkan sepertimu. Maaf, aku sering mendengar bagaimana anak ekskul Melukis membicarakanmu.” kataku. Sial. Ada apa denganku? Apakah aku terlampau takut akan terjadi sesuatu dengan hubungan Zayn dengan Candy yang berimbas pada hubunganku dengan Justin? Aku bahkan terlalu takut untuk menjawab. Bahkan dengan hati kecilku sendiri.

          Zayn tertawa. Hambar. “Itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Dan sekarang, Justin bahkan membenciku. Padahal dia benar-benar sahabat terdekatku sejak kami masih duduk di bangku JHS.” keluh Zayn, “Karena dia pikir aku telah menyakiti Candy.”

Amnesia (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang