Bab 8 : Kusimpan Dalam Mimpi

1.1K 73 0
                                    

Kenapa setiap kau hadir merebut hatiku, kau harus pergi kembali menghancurkan hatiku?

Andai dirimu memilih hatiku
Kan ku serahkan cinta tulus di hatiku.

Lagu dari penyanyi cantik, Maudy Ayunda mengalun indah. Gista kini berjalan menelusuri jalan kota Malang yang sudah sangat sepi. Sepatu kets putih yang sudah ada bercak-bercak coklat tanah akibat jalanan di pasar malam tadi sangatlah becek. Sepatu tersebut di tenteng oleh Gista dan kini kedua kaki mulus itu tak beralaskan. Rasa dingin terasa di telapak kakinya yang tak ada alasnya itu. Pandangan gadis itu terlihat kosong. Yah Gista masih saja memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu saat dia bertemu  tak sengaja dengan Hanif di pasar malam. Sebenarnya hati Gista sangat bahagia bisa bertemu dengan lelaki idamanya tanpa sengaja. Gista adalah gadis yang sangat beruntung. Tetapi tangan yang melingkar di lengan kokoh itulah yang membuat Gista merasa sakit di hatinya. Apakah dia cemburu? Tapi siapa Gista di hidup Hanif? Hal itu membuat Gista tersenyum miris.

Langkah kaki itu masih saja menelusuri gelapnya malam. Jalanan yang di lewatinya sangatlah sepi. Hanya lampu jalan yang berwarna putih itulah yang menemaninya. Gista tak tau dimana ia berada sekarang, yang jelas saat ini hatinya masih saja perih. Yah perih sekali. Butiran bening itu kembali menetes. Seakan butiran itu tidak ada habisnya. Tangan mulus yang tidak di baluti apa-apa itu terangkat untuk menghapus butiran demi butiran tersebut. Cengeng lo, Gis. Batin Gista berteriak.

Gista melihat suasana sekitarnya. Sepi. Hening. sama seperti hatinya yang sepi dan juga Hening. Tangannya merogoh tas selempang berwarna abu-abu itu dan mengambil telephon genggamnya. Alunan lagu Maudya Ayunda masih di dengarnya memalalui irphone berwarna putih itu. Jari-jari lentik itu mencari kontak yang akan di hubunginya. Emir. Gista ingin meminta Emir untuk menjemputnya karena dia tak tau dimana sekarang. Jalanan juga sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat. Entah berapa lama dia melamun, sampai-sampai dia tersesat seperti ini. Saat ingin menghubungi Emir, sinyal di telephon genggamnya tidak di temukan. Panik. Yah Gista sangat panik, dia tidak mau tersesat. jari-jari mungil itu kembali mencoba menghubungi Emir. Lagi-lagi sinyal yang tidak mendukung. Gista mengtikkan pesan singkat kepada Emir.

"Siapa tau aja nanti ke kirim." Gumamnya berharap-harap cemas. "Duh sinyal, ada dong." Gerutunya sebal.

Kaki tampa alas itu berjalan mondar mandir. Gista gelisa. Ia takut tidak bisa pulang, padahal tubuhnya sudah sangat lelah sekali. Ingin rasanya menjatuhkan diri ke kasur empuknya itu. Sesekali Gista menggigit bibirnya dan kembasahinya. Telepon genggam itu selalu berada di pandangannya.

Sudah lima belas menit Gista menantikan sinyal, tetapi hasilnya masih saja nihil. Gista mendudukan bokongnya ke terotoar jalanan yang sangat sepi itu. Kakinya di luruskan. Dia sudah lelah berjalan kesana-kemari. Tetapi apakah hatinya juga lelah? Entahlah Gista tak mengerti dengar perasaannya ini. Yang di rasakan saat ini adalah rasa sakit di hatinya masih belum reda. Tetapi dia masih ingin bertemu dengan Hanif, masih ingin melihat wajah tampannya, masih ingin melihat mata indah itu. Gista menggelengkan kepalanya. Mikir apa sih lo,Gis. Batinnya.

Pandangannya beralih melihat suasana sekitar. Masih sepi. Tidak adakah yang berkenan melewat jalanan ini? Padahal jalanan ini bukanlah hutan rimba. Hembusan napas berat terdengar. Gista sangat lelah dan dia ingin pulang.

Sorot lampu berwarna jingga menerangi dirinya yang terduduk di pinggir jalan itu. Gista menyipitkan matanya karena lampu jingga tersebut menembus wajah putih itu. Berdiri dan bersiap menyetop kendaraan roda dua itu. Mungkin pengendaranya bisa membantu Gista untuk kembali ketempat penginapannya. Tangannya melambai-lambai untuk memberi isyarat kepada pengendara itu untuk berhenti.

I Love My Fans (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang