Ingin ku melihat wajah itu lagi. Wajah penyemangatku. Seberkas rindu ini selalu untukmu.
Jari-jari mungil milik Gista sudah menari-nari manekan keyboard leptopnya. Dia kembali melanjutkan tulisannya. Sesekali Gista menopang dagu, Pikirannya entah kemana-mana, setelah kejadian beberapa hari yang lalu saat dia di tolong oleh Hanif saat dia di jambret oleh dua orang preman yang menakutkan. Hal itu selalu saja terbersit di pikirannya. Dia masih ingat saat Hanif mendekap erat tubuh wanita yang tidak di kenalnya malam hari itu. Hatinya kembali nyeri. Nyerinya hati ini mengalahkan nyeri di kakinya yang sudah terbungkus oleh kain perban berwarna putih.
Mata indah itu terlihat kosong. Seakan-akan pikirannya tidak bisa untuk menyelesaikan tulisan yang di targetkan selesai akhir bulan ini. Untuk merangkai kata-kata sajapun dia sangat kesulitan. Gista mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Ya Allah kenapa gue jadi gini sih.?" Ucapnya bermonolog.
Emir--sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Gista. Emir tau apa yang di rasakan oleh Gista saat ini. Sangat tau. Ingin sekali Emir mengatakan kepada Hanif bahwa Gista--sahabatnya sudah jatuh cinta kepadanya. Tetapi itu tidak mungkin di lakukan, Gista pasti akan marah besar kepadanya.
Langkah kaki Emir mendekati Gista yang tengah duduk di depan leptopnya. Tangan kokoh Emir mengelus rambut panjang itu dengan sayang.
"Tenang, Gis." Bisik Emir tepat di telinganya. Sontrak saja Gista mengalihkan pandangannya ke arah empu suara tersebut.
Emir tampak tersenyum tulus kepadanya. Gista beruntung mempunyai sahabat seperti Emir. Sahabat yang selalu ada untuknya, selalu bisa di andalkan. Gista pun langsung menghambur ke pelukan Emir. Dia sudah tak kuasa lagi membendung air matanya.
"Kenapa gue cinta sama Hanif si, Mir?" Tanyanya di sela-sela isak tangisnya. Emir mendekap tubuh mungil sahabatnya itu. Emir tidak ingin melihat Gista menangis. "Kenapa cinta sendirian itu rasanya sakit?" Kini bukan isak tangis lagi yang terdengar, tetapi sesegukan lah yang terdengar.
"Plis, jangan nangis Gista." Pinta Emir. Sungguh dia tidak tega melihat Gista seperti ini.
Nif, coba lo tau kalau sahabat gue benar-benar tulus mencintai lo. Bantin Emir menjerit.
Kini Gista melonggarkan pelukannya. Matanya menatap wajah Emir yang tinggi menjulang ke atas itu. Emir langsung menangkup kedua pipi Gista yang sudah basah oleh air mata itu.
"Gue gak mau liat lo nangis. Masih ada gue, Gis." Ucap Emir menghapus butiran bening itu.
Senyuman terbit di bibir Gista. "Andai aja lo itu Hanif, pasti gue bakalan bahagia banget. Andai aja gue cintanya sama lo, bukan sama Hanif." Ucap Gista pelan.
Emir mendengar apa yang di katakan Gista tadi. Andai lo bisa mencintai gue sebagai Emir, bukan sebagai Hanif. Batin Emir.
***
Hari pertandingan kota Malang dengan kota Bandung beberapa jam lagi akan di mulai. Emir sudah menyiapkan peralatan untuk meliput Pertandingan tersebut. Gista fokus melihat Emir yang tengah mondar-mandir memasukkan peralatannya ke dalam tas ransel hitam miliknya. Kaki yang masih saja di perban itu bergelantungan dan bergoyang-goyang di bawah ayunan yang terpasang di halaman samping rumah. Merasa di perhatikan, Emir menatap Gista bingung.
"Ada apa liatin gue?" Tanya Emir kembali fokus ke kamera DSLR nya.
Gista memutar bola matanya. Selalu saja Emir memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat over.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love My Fans (Completed)
Любовные романыHanif abdurrauf sjahbandi adalah seorang pemain sepak bola muda. Dengan karirnya yang sangat meningkat, Hanif banyak digemari oleh para pecinta sepak bola terutama pada kaum hawa. Hanif juga tipikal orang yang tidak sombong dengan Fansnya, dia selal...