Bab 22: Si Kulit Bundar

950 77 10
                                    

Jangan Pernah bermain dengan kata Rindu. Karena Rindu itu menyakitkan.

***

"Dimana Hisyam?"

Pertanyaan itu terlontar dari bibir Hanif saat dia dengan Bagas dan juga Haikal beristirahat sejenak di pinggir lapangan hijau.

Sejak tadi mereka tengah bermain sepak bola. Tadi saat Bagas tiba-tiba saja muncul di depan pintu kamar Hanif, lelaki berparas manis itu langsung menarik tangan sahabatnya itu kesebuah lapangan sepak bola yang cukup luas. Hanif pertamanya sempat bingung, karena mungkin baru pertama kali menginjakkan kaki kelapangan hijau yang terlihat luas dan indah tentunya. Seakan membaca pikiran Hanif, Bagas pun menjelaskan apa maksud dan tujuannya membawa Hanif.

"Kita disini mau main bola, Haikal sama Hisyam juga ikut kok." Jelas Bagas sambil merangkul pundak sahabatnya itu.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 2 jam memainkan si kulit bundar, Hanif mulai merasa kalau dirinya jatuh cinta dengan lapangan hijau dan tentunya kepada si kulit bundar pula. menggiring, menendang, mengoper, dan mencetak gol adalah hal yang paling Hanif sukai.

Tadi, saat mereka memutuskan untuk beristirahat sebentar di tengah cerahnya sore Kota Malang, Hisyam sempat meminta izin kepada Bagas untuk membeli sesuatu di toko buku yang tak jauh dari lapangan tersebut.

"Icam lagi ke Toko buku sebentar. " Jawab Bagas setelah menghabiskan air mineral kemasannya.

Kepala Hanif mengangguk-angguk, Peluhnya yang keluar dari pori-pori kulitnya tampak membuat wajah Hanif terlihat lebih tampan.

"Gimana? Senangkan main bola?" Tanya Bagas menepuk pundak Hanif kencang hingga mengakibatkan Hanif yang tengah minum pun tersedak.

Raut wajah Hanif tampak kesal dan itulah yang membuat Bagas terkekeh geli. Rasanya rindu sekali dia melihat wajah kesal Hanif.

"Nanya sih nanya, tapi enggak usah pake mukul juga kali." Sergut Hanif kesal.

Bagas memutar kedua bola matanya lalu merapatkan posisi duduknya hingga sangat dekat dengan Hanif. Tangan lelaki keturunan Jawa itu menoel-noel pipi Hanif yang masih basah oleh keringat. "Uluh-uluh Ayang aku ngambek."

Sontrak saja Hanif mual mendengar ucapan Bagas. Bagaimana tidak? Bagas terlihat seperti orang tua yang tengah membujuk anaknya yang tengah ngambek. Yang benar saja, Bagas menganggapnya masih anak kecil? Hey! Ingat umurnya sekarang sudah menginjak angka dua puluh tahun dan hal itu bukan anak kecil lagi.

"Jijik Gue." Ucap Hanif tajam dan mengundang Bagas untuk tertawa lepas.

"Lo itu enggak berubah yah, masih sama aja kayak dulu." Ucap Bagas setelah meredahkan tawanya.

"Emang gue dulu kaya gimana?" Tanya Hanif antusias. Yah kalau mendengar kata 'dulu' Hanif selalu antusias karena dia masih ingin menggali jauh masa lalu yang tidak bisa diingatnya.

Bagas langsung menoleh kearah Hanif yang sudah siap mendengar ceritanya. Pandangan Bagas kembali beralih kelangit sore yang terlihat kebiru-biruan. Seakan menerawang, Bagas pun mulai bercerita.

"Lapangan ini tempat pertama kali pertama kali kita kenal dan dari lapangan ini kita bersahabat,"

Helaan napas terdengar, "Dulu waktu umur kita masih Dua Belas Tahun kita sama-sama terpanggil untuk memperkuat tim sebesar Arema junior. Walaupun kita dari SSB yang berbeda."

Kini pandangan Hanif menerawang kedepan, benarkah hidupnya dulu seperti itu? Pantas saja dia begitu mudah jatuh cinta kepada si kulit bundar yang ada di tangannya ini.

I Love My Fans (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang