Arzaki Van Java, Dylan, dan Choki yang merupakan personil band sekolah, suatu hari mendapati Naira dalam kejadian yang sangat memalukan. Sebisa mungkin Naira selalu menghindari mereka setelah kejadian itu. Sayang, kegemaran Naira di luar sekolah jus...
Naira berpaling sejenak, tak paham dengan ucapan Zaki. Mungkin tidak, ia pernah melihatnya tampak mengagumi tapi sikapnya sekarang biasa saja? Naira menggeleng. Ia yakin bukan itu maksudnya jika dari nada Zaki berbicara.
Hati Naira berdesir kala ingat chattingan dengan Mr. Squarepants semalam. Jangan-jangan teman Dylan yang dimaksud menyukainya adalah Arzaki! Lihat saja sikapnya yang selalu ramah berlebihan akhir-akhir ini.
Ah, tapi tidak mungkin. Naira segera menepis dugaan konyol itu. Arzaki yang populer pasti punya selera yang jauh di atasnya. Lagipula di sekolah dia ramah pada siapa saja. Teman Dylan kan juga tidak cuma dia, pikirnya lagi. Daripada penasaran maka Naira melirik Zaki yang kini sedang merenung. "Kenapa... tiba-tiba lo bilang kayak gitu?" tanyanya ragu-ragu.
Zaki sedikit menampakkan senyum. "Lo selalu bersikap manis dan kelihatan senang ngobrol sama orang-orang. Tapi di depan gue sikap lo kayak berusaha," jawabnya masih dengan pandangan lurus ke depan.
Seketika Naira menahan napas. Ternyata Zaki merasa juga jika ia tidak sungguh-sungguh membalas keramahannya. Ketahuan tidak bersikap tulus kepada seseorang ternyata rasanya sangat tidak nyaman. Seolah ia baru saja terbukti melakukan suatu kejahatan langsung di depan sang korban.
"Ehm, sebenarnya nggak gitu," Naira lalu coba berkilah. "Gue cuma... mm... cuma...." Ia berpikir keras untuk memberikan jawaban yang tepat tapi sayangnya tak juga dapat. Haruskah ia mengaku kesal dengan Zaki karena sering membicarakan tragedi pink berenda-renda di belakangnya?
"Kayaknya lo beneran benci sama gue," ucap Zaki setelah memandang Naira yang tak bisa melanjutkan kata-kata.
"Ng-nggak, kok. Gue nggak benci sama lo!" Segera Naira membantah.
Zaki tak percaya. "Gue merasa kalau senyum lo di depan gue kayak terpaksa. Lo juga nggak mau mengadakan kontak mata dengan gue lama-lama," ia memperjelas keadaan sampai Naira tak bisa berkilah lagi. "Kelihatannya lo benar-benar nggak suka sama gue."
"Ekh, ini nggak seperti itu...," kalang kabut Naira beralasan. "Pikiran lo aja yang berlebihan."
Zaki menggeleng. "Kalau lo nggak suka ya udah, jangan maksa diri buat berlaku baik sama gue. Gue tahu kok rasanya terpaksa itu gimana," kata Zaki, semakin membuat Naira terpojokkan. "Ah, lo pasti dari tadi nggak nyaman ngobrol dekat-dekat sama gue. Ya udah, gue duduknya menjauh aja." Zaki lalu menggeser pantatnya jauh ke samping.
"Eh, nggak perlu...."
"Apa jarak segini udah cukup?" tanya Zaki setelah berada di bangku halte nyaris paling kiri sementara Naira paling kanan.
"Lo... lo ini lagi ngapain sih?" Naira sampai berkeringat dingin melihat ulah Arzaki. "Jangan kayak gitu...."
"Ah, masih kurang jauh, ya?" Sekali lagi Zaki coba menggeser pantat hingga sebelah bahunya menempel tiang. "Udah pol!" serunya kemudian.
"Arzaki, gue cuma lagi dalam suasana buruk hari ini. Jadi stop! Ini nggak seperti yang lo pikirin," ucap Naira sambil melihat lalu lalang pejalan yang memperhatikan perilaku keduanya. Pasti mereka pikir jika Zaki dan Naira adalah pasangan aneh yang sedang bertengkar. Benar-benar memalukan.
Namun agaknya Zaki tak mau peduli. Ia justru menyilangkan kaki lalu kepalanya terus menoleh ke arah lain. Tak heran Naira jadi bingung sendiri. Memang benar belakangan ini ia sangat sebal dengan Arzaki, tapi biarpun kesal ia tak sampai membencinya separah itu juga. Lagipula rasa sebal dan benci itu berbeda. Salah Zaki saja yang muncul di saat perasaannya tidak bagus.
Daripada merasa tersiksa lebih lama maka Naira bangkit dari tempatnya lalu berjalan mendekati Zaki. Tanpa banyak kata ia pun duduk di sebelahnya. Zaki yang tahu akan hal itu segera berpaling. Ia menatap Naira beberapa lama sebelum akhirnya tersenyum sendiri.
"Princess Pink," kemudian Zaki menyebutnya. "Gue cuma bercanda," ucapnya dibarengi tawa kecil membuat Naira bengong seketika.
"Gue nggak sungguh-sungguh, kok. Asli," tegas Zaki. "Kalaupun lo beneran nggak suka sama gue, nggak tahu kenapa rasanya malah menyenangkan," ucapnya ringan lalu menunjukkan senyum lebar.
Dalam gerak refleks Naira memalingkan muka. Melihat Zaki tersenyum dalam jarak sedekat itu rasanya malu juga. Apalagi senyum itu memang ditujukan untuknya.
"Betewe, suara lo emang halus banget ya, Princess. Lo panik aja kesannya jadi tetap kalem. Dari tadi aslinya gue mau ketawa, lho. Sori, ya." Zaki tertawa lagi sambil melirik Naira.
Wajah Naira tampak memerah. Jadi cuma bercanda, batinnya.Tapi kenapa candaannya pas banget dengan realita? Naira merasa bingung biarpun juga lega. Ia lalu balas melirik Zaki yang masih tertawa-tawa kecil. Entah kenapa ia jadi geli juga dengan kepanikannya tadi.
"Pokoknya kalau sama gue lo santai aja. Biarpun lo baik sama semua orang tapi sama gue lo ngabaikan, gue tetap bakal biasa aja kok," ucap Zaki membuat Naira yang baru ikut tertawa langsung terhenti.
"Elah, Princess. Kayaknya lo belum juga terbiasa ngobrol sama gue, ya? Gue emang begini orangnya. Gue nggak suka basa-basi tapi bukan bermaksud jelek juga. Jadi mulai sekarang biasain aja, oke?" kekeh Zaki. "Oh, ya. Jadi besok ya jatah kelas lo buat penilaian dan tampil di panggung pentas aula?" Ia bertanya setelah suasana terasa lebih cair.
Naira mengangguk kecil. Dalam hati ia masih saja kagum dengan sikap Zaki yang mampu membolak-balikkan suasana dalam sekejap mata.
"Kalau gitu besok gue nonton, ah!" seru Zaki tiba-tiba. "Kenapa muka lo kayak gitu? Gue nggak boleh nonton, ya?" ucapnya saat melihat raut tegang Naira.
"Nggak, bukannya gitu...," segera Naira menggelengkan kepala. "Mm, lo tahu? Gue ini sebenarnya suka nggak pede kalau dilihat banyak orang. Gue takut melakukan kesalahan atau terlihat buruk waktu diperhatikan. Padahal besok gue harus nyanyi dan nari di atas panggung, kan? Gue pasti grogi."
"Oo, kalau gitu gue bakal nonton di barisan terdepan deh buat ngasih lo dukungan," kata Zaki terjeda sebentar. "Ya maksudnya dukungan biar lo tambah grogi," lanjutnya membuat Naira tertawa spontan.
"Akhirnya... gue lihat lo lepas juga di depan gue," komentar Zaki saat memperhatikan ekspresi Naira. "Tawa lo nggak kepaksa. Itu tuh ya, jauh lebih sedap dipandang mata."
Naira tertawa sekali lagi. Ternyata Lian benar. Zaki orangnya lucu juga. Ia menyenangkan dan pintar mengolah suasana. Setidaknya itulah sisi yang saat ini Naira temukan dari seorang Arzaki Van Java.