33. Pelangi

3K 458 106
                                    

***

"Lo nervous. Sebelumnya lo nggak pernah segugup ini cuma karena mau ketemu Arzaki." Melihat Naira mondar-mandir di dekat mejanya, Salsa tak tahan juga untuk tidak berkomentar.

"Gue cuma deg-degan, Sa," ujar Naira. "Gue nggak tahu besok harus ngomong apa. Maksud gue di luar tugas wawancara." Ia meralat ucapannya waktu Salsa menunjuk kertas folio yang sudah dipenuhi deretan pertanyaan seputar wawancara.

"Kalau gitu, nanti malam lo rancang dulu deh kata-kata yang pengin lo omongin buat Arzaki. Lo bisa tulis di kertas. Jadi kalau besok lupa lo tinggal baca aja," saran Salsa.

"Ckk, kenapa nggak sekalian aja gue tulis surat terus kasih sama dia?"

"Boleh juga. Nyatain perasaan lewat kertas dan tulisan tangan. Cara klasik yang jujur nan elegan." Salsa menanggapinya dengan tawa. Ia tak menyangka jika malamnya Naira benar-benar menulis berderet-deret kata sesuai sarannya. Agaknya kegelisahan membuat Naira jadi menuliskan isi hatinya di atas kertas, berharap besok ia bisa mengatakan dengan lancar tanpa perlu membacanya.

Esok telah tiba. Sebelum berangkat sekolah Naira menyobek lembaran kertas dari buku hariannya yang sudah penuh goresan tinta kemudian ia lipat ke dalam saku. "Sedia payung sebelum hujan," gumamnya sambil membenahi dasi di depan kaca.

"Wah, jadi sebagai imbalan Arzaki ngajakin lo jalan nih, Nai? Asyik, dong. Aaa, gue jadi iri...!" Lian merengek begitu mendengar cerita Salsa.

"Gue ikut senang lihat kalian udah baikan. Yang penting kalau udah jadian jangan lupa makan-makan," komentar Disty ringan.

Di luar Naira boleh tersenyum, sebaliknya di dalam hati ia merasa begitu gelisah. Akankah ia sanggup mengatakan tentang perasaannya pada Zaki? Bel pulang, kapan engkau datang?

***

"Arzaki mana, sih? Kok lama," gerutu Salsa. Sepuluh menit sudah berlalu semenjak bel pulang terdengar, tapi Zaki belum juga kelihatan. "Lo yakin udah minta dia datang ke kelas langsung kan, Nai?"

"Udah lah, Sa. Sabar bentar, dong. Baru juga lewat berapa menit," tenang Naira. "Mungkin Arzaki lagi dapat hukuman dari guru Fisika. Dulu juga pernah gitu. Dia nggak pernah ingkar janji, kok."

"Ckk, tahu gini gue mampir kantin dulu tadi. Lapeer!" Salsa mengobrak-abrik laci mejanya untuk mencari camilan tapi tidak ada. Ia mendesis sebal.

"Ya udah, lo ke kantin aja sekarang. Biar gue yang nunggu di sini," kata Naira akhirnya. "Eh, sekalian gue titip minuman sama apa aja deh terserah. Beliin buat Arzaki juga, ya? Kalau lihat cuaca mendung begini kayaknya nggak bakal jadi jalan," ucapnya sambil memandang langit lewat kaca jendela kelas. Bergumpal-gumpal awan gelap menggantung rendah. Padahal tadi pagi sangat cerah.

"Misal nggak jadi jalan ya lancarkan aksi di sini, dong. Awas aja sampai gagal." Salsa pun melenggang pergi usai Naira memberinya uang. Cewek itu tampaknya benar-benar lapar. Langkahnya ke kantin saja sampai lebar-lebar.

Naira memainkan bolpoin di tangan sambil sesekali menengok pintu. Salsa benar, Zaki agak terlambat. Diperiksanya ponsel di atas meja. Tidak ada pesan dari Zaki, artinya cowok itu pasti akan segera datang.

Naira tersenyum dengan hati berdebar. Setelah wawancara selesai ia pasti bisa mengatakan sesuatu yang menyinggung isi hatinya. Pokoknya ia akan cari cara. Semoga saja mulutnya tidak mengacau.

Princess In RockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang