Gigi menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Sesekali jemarinya memijit pelipisnya. Kenapa hari ini banyak sekali beban di pikirannya? Kenapa denyutan di dada kirinya juga kian menyiksa? Gigi menghela napas panjang.
Suara knop pintu tertarik membuat Gigi mendongakkan kepalanya. Iris cokelat terang penuh luka itu menatap gadis berkulit kuning langsat dengan rambut sepingggang masuk ke dalam kamar Gigi. Gadis berderap santai lantas duduk di sofa.
"Kenapa?" tanya Elia.
Gigi tadi sempat menelepon Elia. Meminta sahabatnya itu untuk ke rumah. Dan Elia dibuat terkejut dengan permintaan Gigi. Sebab, biasanya Gigi yang akan ke rumahnya.
"Jota," jawab Gigi.
Elia menautkan kedua alisnya. "Jota kenapa?"
"Jota suka sama Edyta," Gigi memberi jeda sebentar, "Dia tadi curhat ke gue. Dia bilang, dia suka sama Edyta. Dia mau nembak Edyta."
"Hah? Sumpah lo? Demi apa?" teriak Elia terkejut.
"Berisik lo!" Gigi melempar bantal ke muka Elia. "Iya, bener. Terus dia juga minta saran barang yang cocok buat nembak apaan."
"Terus lo kasih tahu?" tanya Elia sangsi menaikkan sebelah alisnya.
"Hmm."
Elia melempar balik bantal ke muka Gigi. "Sumpah ya, Gi! Lo orang paling bodoh di dunia! Lo suka sama Jota, tapi lo kasih saran Jota buat nembak cewek lain!"
"Terus gue harus ngapain, El? Ngelarang Jota buat nggak usah nembak Edyta? Atau gue ngemis cintanya Jota?" tanya Gigi dengan nada pelan. Sebab tenggorokannya terasa sakit. Bila dia berujar dengan nada tinggi, dia yakin suaranya justru bergetar.
"Gue nggak seburuk atau pun sehina itu, El. Sampai-sampai harus ngehalangin cinta Jota sama Edyta. Mereka berdua sama-sama suka, El. Sedangkan gue? Cinta gue sepihak."
"Tapi Gi... perasaan lo yang lo korbanin."
"Gue nggak apa-apa, El. Gue bisa 'kok move on ke cowok lain," ucap Gigi berusaha meyakinkan Elia.
"Bohong! Gue tahu lo terluka. Gimana bisa nggak apa-apa kalau cowok yang lo suka, suka sama sahabat lo sendiri." Elia bangkit dari duduknya mendekat ke tempat tidur Gigi. Gadis itu duduk di sisi ranjang.
Sebab Elia tahu Gigi hanya berpura-pura baik-baik saja. Sekuat apa pun Gigi, kalau mendapatkan fakta orang yang disukainya mencintai orang lain pasti akan terasa menyakitkan. Terlebih mereka berdua sama-sama sahabat Gigi. Elia menarik tubuh Gigi, memeluknya. Gigi membalas pelukan Elia.
"Gue harus gimana, El?" tanya Gigi dengan suara bergetar menahan tangis.
"Kalau lo suka sama Jota, lo kasih tahu dia. Jangan lo pendam sendirian begini. Ujung-ujungnya cuma lo yang ngerasain patah hati," tutur Elia.
"Gue nggak bisa, El. Gue ... gue nggak sanggup. Gue nggak suka lihat Jota sama cewek lain. Tapi, gue nggak berhak ngelarang dia. Gue nggak punya hak untuk itu." Tangis Gigi pecah seketika. Rasa sakit yang mencengkram dadanya ia keluarkan dalam bentuk tangis.
Elia mengusap punggung Gigi pelan. Berharap cara itu bisa memberikan ketenangan untuk Gigi. Elia juga merasa sakit melihat sahabatnya tampak rapuh.
"Apa pun yang terjadi, kita lewatin ini sama-sama, Gi. Gue ada buat lo. Gue ada di pihak lo. Abi juga." Elia meyakinkan Gigi.
Gigi melepaskan pelukannya. Jemarinya mengusap kasar air mata yang ada di pipinya.
"Gue tahu, El, semuanya. Tapi, gue diam. Gue nggak mau nanya sama Jota maupun Edyta. Gue mau mereka sendiri yang cerita ke gue. Dan ya, Jota cerita."

KAMU SEDANG MEMBACA
Feelings
Teen FictionSequel of Inside of You My 4th story Aku tahu rasaku ini untuk siapa. Bukan untuk kamu yang ingin kuperjuangkan dalam diam dan sekadar angan. Bukan pula kamu yang memperjuangkanku dan berhenti di tengah jalan. Bukan kalian yang pandai menyembunyikan...