Satu hal yang tak pernah menyelinap dalam benak Bilal sebelum kehadiran gadis dengan segala keekspresifannya. Hampa. Detik ini, ia merasa benar-benar hampa. Kehampaan yang meluluhlantakkan harinya.
Tak pernah disangkanya sama sekali, gadis ekspresif dengan lesung indah di kedua pipinya itu mampu meninggalkan setitik rasa dengan pengharapan kenangan bahagia sampai tiada hanya karena seruan-seruan tak bermaknanya. Lantas tak mampu membuat Bilal untuk tak memedulikan rasa hampa kala gadis yang berpengaruh menaruh segala macam harapan sederhananya izin tak bersekolah beberapa hari untuk menemui sang kekasih di ujung timur Pulau Jawa.
Bilal tak pernah merasa sehampa ini hanya karena ketidakhadiran gadis ayu bernama Gigi. Bahkan, embusan angin yang membawa sejuknya petrichor pun tak mampu meredam kehampaan cowok yang duduk di dinding pembatas rooftop sekolah.
Hah! Benar-benar menggelikan sekaligus mengecewakan.
Sebab, Bilal tak pernah semelankolis saat ini.
Mengembuskan napas perlahan, kepala Bilal kembali menunduk. Samar, sudut bibirnya tertarik ke atas, menyunggingkan senyum simpul. Netra sehitam arang itu tampak teduh dan menganggumkan hanya karena reaksi dari tubuhnya kala memandangi foto gadis dengan bennie hat berwarna hitam bertuliskan xoxo yang sedang tersenyum lebar. Sehingga menampilkan cacat di kedua pipinya namun elok dinikmati. Dengan latar belakang blue fire di Kawah Ijen.
Foto yang sengaja dikirimkan sang gadis dengan maksud memamerkan. Namun, Bilal justru tak memedulikan sedikit pun maksud Gigi dalam mengirimkan foto setengah badan itu. Justru ia kehilangan fokus saat senyum lebar gadis itu seketika membuatnya terpana.
Ah, andai senyum lebar itu tak hanya dinikmatinya dari ponsel berukuran 5.5 inchi.
“Mau berapa lama lagi ngelihatin foto Gigi, Lal?”
Pertanyaan yang nyaris berupa bisikan namun ada tekanan dan sindirian di setiap katanya spontan membuat Bilal mengumpat karena terkejut.
“Anjing!”
Tawa panjang mengudara. Berbeda dengan Bilal yang dengan gerakan cepat menekan tombol power off dan menyimpan benda persegi panjang berlogo apel tergigit berwarna jet black itu ke dalam saku seragamnya.
Sebab, ia sama sekali tak mendengar derap langkah yang mengarah ke tempatnya atau pun merasakan kehadiran seseorang dengan jarak tak sampai setengah meter darinya. Atau mungkin, Bilal sedang tersesat dalam senyum lebar Gigi. Jadi kurang peka dengan keadaan sekitar. Entahlah.
Reyhan—si pelaku yang membuat Bilal terkejut—terbahak tak keruan. Sesekali mendengus geli melihat ekspresi terkejut, gugup dan gelisah yang ada di diri Bilal. Berdeham untuk meredakan sisa-sisa tawanya, Reyhan mengambil duduk di samping Bilal. Reyhan memilih memejamkan mata terlebih dahulu seraya mengambil napas dan mengembuskannya perlahan. Sebab, bau hujan benar-benar mengusik indera penciumnya.
“Eh, tumben kepala lo iket bandana.” Reyhan yang kembali melihat Bilal untuk meledek cowok itu mengurungkan niatnya mengingat menemukan bandana yang melingkari kepala cowok itu.
Jemari Bilal kontan terangkat menyentuh bandana berwana hitam yang terikat di kepalanya. “Pusing kepala gue. Kayak mau pecah rasanya. Makanya gue iket biar pusingnya hilang.”
“Oh.” Reyhan mengangguk. Iris matanya menatap Bilal menyelidik. “Kenapa lo ngelihatin foto Gigi segitunya?” tanyanya sama sekali tak menyembunyikan kecurigannya.
“Nggak papa. Lagi pengin lihatin aja,” jawab Bilal tak acuh sembari menggidikkan bahunya. “Lagi pula, ‘kan, itu baru dikirim dia tadi pagi waktu dia lagi di Ijen.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Feelings
Dla nastolatkówSequel of Inside of You My 4th story Aku tahu rasaku ini untuk siapa. Bukan untuk kamu yang ingin kuperjuangkan dalam diam dan sekadar angan. Bukan pula kamu yang memperjuangkanku dan berhenti di tengah jalan. Bukan kalian yang pandai menyembunyikan...