Feelings - 12

822 73 79
                                    

"Hai, Gi, ketemu lagi," sapa EJ ikut duduk di samping Gigi.

Gigi yang duduk di lantai di belakang rak buku kayu yang nampak kokoh dan menjulang tinggi kontan menengok ke samping kanannya. Alisnya terangkat sebelah, bingung. Kenapa EJ bisa menemukannya? Padahal Gigi sengaja mengambil tempat paling sudut dan jarang dikunjungi siswa sekolahnya mengingat kumpulan buku di rak belakangnya adalah kumpulan buku dari tahun lama.

"Ke perpus terus gini," ledek EJ.

"Lo juga ke perpus gini. Katanya jarang buat ke sininya, kok sekarang jadi ke perpus terus." Gigi meledek EJ balik.

"Karena ada lo makanya gue ke sini terus," goda EJ.

Gigi menyenggol lengan EJ sambil terkekeh. "Haha jayus lo."

"Tapi, kenapa lo bisa tahu gue ada di sini? Padahal gue sengaja pilih tempat yang kurang dikunjungi," tanya Gigi setengah penasaran.

"Mau tahu?" Ej menaik turunkan alisnya menggoda.

Gigi memutar bola matanya malas. Memilih kembali melanjutkan akitivitasnya membaca novel yang terpotong karena sapaan cowok itu. Gigi mendengar helaan napas panjang cowok itu. Namun, Gigi memilih tak acuh. Sebab benaknya tertarik ke dalam cerita yang dibacanya.

Entah berapa lama keheningan menemani keduanya. Gigi sibuk dengan novel yang dibacanya, EJ sibuk dengan ponsel yang di kedua tangannya. Namun, EJ merasa jengah dengan keheningan yang tercipta. Berbeda dengan Gigi yang mulai berkaca-kaca seolah merasakan kesakitan si tokoh utama yang memutuskan kekasihnya dengan dalih bosan padahal itu sebuah kebohongan semata. Sebab si tokoh utama telah di vonis mengidap penyakit mematikan.

"Istirahat tumben nggak ke kantin?" Pertanyaan EJ yang memecah keheningan kontan membuat Gigi mengusap kasar air matanya.

"Hmm, lagi pengin ngadem," jawab Gigi tanpa memutuskan kontak matanya pada novel dengan sampul berwarna powderblue.

Iya, ngademin hati. Biar nggak panas lihat kemesraan orang yang baru taken, lanjut Gigi dalam hati.

"Wih, gaya lagi ngadem. Emang AC kelas lo nggak nyala gitu?" tanya EJ lagi. Tak ingin pembicaraan kembali terhenti karena dia dengan bodohnya bertanya balik bermaksud menggoda. Sebab yang EJ kira, Gigi akan merespons ucapannya. Namun, ternyata ekspetasinya salah.

Gigi menutup novelnya yang dibacanya. "Nyala, sih. Cuma kalau di kelas 'kan rame, males. Mending di sini. Sepi, adem. Siapa tahu dapet wangsit gitu."

"Wangsit apaan?" EJ menautkan kedua alisnya.

Gigi mengulum senyumnya mendapati EJ tak mengerti arti kata wangsit. Gadis itu berujar meledek, "Darah campuran gitu, ya. Nggak ngerti bahasa orang pribumi."

EJ mengacak-acak rambut Gigi gemas. "Sialan lo, Gi. Gue masih ada keturunan pribumi ini."

"Iya deh iya. Terserah Abang aja." Gigi menepuk pelan lengan EJ. "Terus lo sendiri ngapain ke sini? Balikin buku lagi?" tanyanya meninggikan alis.

"Karena kemana pun lo pergi, gue pasti bakal nyamperin. Kayak di sini contohnya," jawab EJ kembali menggoda.

"Canda mulu lo." Gigi menggelengkan kepalanya sambil menyikut lengan EJ.

FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang