Edyta mengambil bingkai foto di atas nakas. Di sana ada dirinya, Gigi dan Vera. Edyta berdiri di antara kedua sahabatnya itu. Sebab, Gigi selalu menjaili Vera, dan dia harus menjadi penengah jika mereka tengah berdebat atau Vera yang mengadu padanya.
Senang rasanya bisa mengenang saat-saat seperti dulu. Tidak ada hal yang menyakiti satu sama lain.
Edyta menghela napas panjang. Namun, sekarang keadaannya berbeda. Semua berubah. Hanya karena Jota.
Edyta sendiri tidak tahu bagaimana dirinya bisa bertindak sejauh ini. Dengan beraninya ia meminta Gigi—orang yang paling dekat dengan Jota—untuk menjauh dari Jota. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu.
Tapi, itu semua karena perasaan cemburu yang membakar hati Edyta. Cemburu berlebihannya karena Jota selalu saja mengkhawatirkan Gigi. Tapi, mau bagaimana pun jelas Edyta yang harus diprioritaskan Jota. Bukan Gigi. Sebab, Edyta adalah kekasihnya. Gigi hanya sekadar sahabat saja.
Salahkah jika Edyta mengkhawatirkan sesuatu yang tidak diharapkannya terjadi? Tentu tidak. Hal yang dilakukan Edyta adalah wajar adanya. Dan itu benar, menurut Edyta. Seseorang yang sudah memiliki hubungan perlu membatasi diri dengan lawan jenisnya.
Sebab, Edyta takut jika sewaktu-waktu kekasihnya direnggut darinya. Apalagi jika sudah melihat ke arah Gigi. Meskipun Gigi sudah memiliki pacar, tidak menutup kemungkinan bukan hal seperti itu terjadi. Terlebih Gigi juga memiliki perasaan yang sama seperti Edyta. Mereka berdua mencintai orang yang sama. Ah... bagaimana bisa itu terjadi? Edyta tidak habis pikir.
Kalau dibandingkan dengan Gigi, tentu saja Edyta lebih unggul di atasnya. Baik dari fisik, attitude, maupun soal cinta. Edyta tidak pernah main-main kalau urusan cinta. Edyta bisa jamin bahwa cinta antara dirinya dan Gigi untuk Jota, tentu cinta dirinya yang paling besar.
"Gue nggak akan ngelepasin Jota untuk siapa pun. Meskipun gue tahu apa yang nggak lo tahu. Meskipun gue tahu gimana akhir semuanya, Gi," gumam Edyta menatap foto di pigura itu.
Ponsel Edyta di atas nakas berdering. Membuat gadis itu mengerjapkan matanya karena terfokus pada pigura itu. Menoleh cepat, Edyta mengulurkan jemarinya mengambil ponselnya. Sudut bibir Edyta tertarik melihat siapa yang menelepon.
Jota's calling
Jemarinya menggeser slide berwarna hijau dan buru-buru ia meletakkan benda persegi panjang itu di telinga kirinya.
"Hai, Dyt," sapa Jota dari seberang. Edyta berani bertaruh pasti Jota sedang tersenyum lebar sampai giginya terlihat.
"Hai juga, Jo," sapa Edyta balik masih mengulum senyumnya.
"Nanti ada acara nggak kamu?"
Edyta mengerutkan keningnya sejenak. Netranya memindai kalender kecil yang ada di meja belajar, yang berjarak tiga meter dari tempatnya bersandar, di kepala ranjang. Setelah dirasa tidak ada yang penting Edyta menjawab dan bertanya balik, "Enggak 'kok. Emangnya kenapa?"
"Mau ngajakin kamu jalan, hehe. Bisa, 'kan?"
"Oh... bisa 'kok, Jo. Jam berapa?"
"Hmm habis magrib aku jemput kamu di rumah, ya?"
"Oke. Aku tunggu ya, Jo," ucap Edyta semangat.
"Siap, tuan puteri. I love you. Sampai ketemu nanti di rumah kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Feelings
Fiksi RemajaSequel of Inside of You My 4th story Aku tahu rasaku ini untuk siapa. Bukan untuk kamu yang ingin kuperjuangkan dalam diam dan sekadar angan. Bukan pula kamu yang memperjuangkanku dan berhenti di tengah jalan. Bukan kalian yang pandai menyembunyikan...