Feelings - 29

877 56 23
                                    

Saga yang berada di kamar dorm BIFA Banyuwangi menghela napas panjang. Perasaannya tidak karuan. Banyak beban yang tersimpan dalam benaknya. Dan itu cukup mengganggunya. Saga ingin menyelesaikan dan melepaskan beban yang membawa dirinya masuk dalam lingkaran yang harusnya dari awal tidak ia pijak. Tapi, lagi-lagi Saga sadar, sebab yang memutuskan masuk pun ia sendiri. Secara sadar. Dan sukarela.

"Kenapa lagi, Ga?" tanya Faisal—teman satu kamar di asrama—yang tengah bersandar di daun pintu.

"Entahlah," Saga mendesah bingung. "Gue sendiri bingung sama apa yang gue rasain."

"Soal cewek lo?" tanya Faisal lagi.

Saga menjawabnya dengan helaan napas berat. Kenapa semuanya semakin rumit untuk dijalani? Saga tak nyaman dengan kekacauan yang tercipta.

"Kenapa nggak lo kasih tahu apa yang sebenarnya sama dia sih, Ga?"

Saga mendongakkan kepalanya menatap Faisal. "Gue nggak bisa, Sal. Bukan hak gue. Buat apa gue ngasih tahu Gigi masalah itu?"

Faisal menjatuhkan bokongnya di kasur. "Apa lo nggak kasihan sama anaknya? Lo jadiin dia pacar alasan lo apa? Lo juga sama aja. Memainkan perasaannya."

Saga mengacak-acak rambutnya frustrasi. Ia sangat ingin memberi tahu Gigi. Tapi, ia tidak bisa. Banyak alasan yang membuat Saga akhirnya memilih bungkam. Walau dengan berat hati cowok itu harus merasakan pundaknya tertimpa beban tak kasatmata.

"Gue yang lo ceritain aja kasihan, Ga, sama cewek lo. Dia yang paling nggak tahu apa-apa. Semudah itu lo jadiin dia pacar?" tanya Faisal retoris menaikkan sebelah alisnya.

"Gue cinta sama dia!" tegas Saga.

"Really? How about Silvia?" tanya Faisal skepstis.

"Gue sama Silvia cuma mantan. Dari dulu sampai sekarang gue cuma cinta sama Gigi. Nggak ada yang lain," jawab Saga dengan serius.

Memang begitu kenyataannya. Sebab, Saga bisa jadian dengan Silvia karena ia merasa nyaman. Silvia cerdas dan ia merasa cocok tiap kali berbicara dengan gadis itu. Tapi, sejak dulu pun hatinya tetap memilih satu orang. Yaitu Gigi.

"Kalau lo cinta sama Gigi kenapa lo nggak berusaha lebih lagi? Kenapa lo diem dan hanya menunggu waktu?"

"Gue usaha kalau dia stuck gue bisa apa sih, Sal? Nggak bisa merubah apa pun." Saga mengembuskan napasnya yang terdengar putus asa.

"Lo tahu kalau suatu kebiasaan bisa membuat dia bi—"

Saga memotong ucapan Faisal. "Gue jauh dari dia, Sal. Lo pikir cuma chatting, video call, telepon kayak gitu bisa buat dia nggak stuck lagi? Nggak, Sal."

"Gue saranin lo kasih tahu cewek lo, Ga. Itu pilihan terbaik." Faisal menepuk pundak Saga.

Lagi, Saga menghela napasnya. Ini semua karena seseorang yang begitu pengecut dan juga mempunyai pikiran picik.

"Seandainya aja gue bisa kasih tahu Gigi, Sal." Ekspresi yang ditampilkan Saga benar-benar terlihat menyedihkan. Siapa saja pasti akan merasa iba dengan lelaki itu.

"'Kan gue udah kasih saran supaya lo kasih tahu Gigi yang sebenarnya, Ga," ujar Faisal.

"Gue nggak bisa."

"Alasan apa yang membuat lo nggak bisa? Orang itu apa perasaan lo?"

"Banyak pertimbangan yang akhirnya membuat gue bungkam, Sal. Akan ada banyak hati yang terluka kalau gue kasih tahu ini ke Gigi. Soal perasaan gue, gue nggak masalah, Sal, kalau akhirnya gue patah hati. Asal keadaan rumit ini selesai."

FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang