Camkan ini, Adrian.
Camkan ini, Adrian.
Camkan ini, Adrian.
Kau bisa memilih kami atau karirmu.
Kau tak akan bisa meraih keduanya dengan keegoisanmu!
Suara kaca terbanting membuat Adrian bergidik. Ia menatap sosok di depannya yang tengah menangis. Kemudian sosok itu berjalan menjauh dan hilang ditelan kegelapan. Adrian merasakan dorongan kuat untuk mengejar wanita itu dan memohon pengampunan. Tapi ia terpaku dan tak memiliki kesempatan.
Adrian jatuh bersimpuh di dataran gelap yang mungkin bisa memenjarakannya. Dadanya tersengal karena menahan tangis. Ia ingin kembali. Ia ingin pulang.
Ia tak punya tempat pulang.
~
Adrian membuka matanya hampir seperti tersentak. Napasnya terengah-engah ketika ia terduduk di ranjangnya karena terbangun mendadak. Tersengal dengan denyut sama. Jantungnya seperti baru saja direnggut dari dadanya. Ia memimpikannya lagi. Emilia hadir lagi. Mengucapkan kalimat yang sama setiap malamnya. Membuat butir-butir keringatnya bercucuran dan bulu romanya meremang.
Adrian meraih gelas berisi air di nakas samping. Menyandarkan kepalanya ke kepala ranjang seraya mengusap kasar wajahnya untuk menghapus bayang.
Sudah berakhir. Kau sudah bangun, kata Adrian dalam hati. Berusaha menyugesti tubuhnya sendiri supaya tersadar sepenuhnya. Berusaha mengambil napas sebanyak-banyaknya seolah pasokan oksigen di paru-parunya akan menipis sewaktu-waktu.
Ditengoknya jendela kamar tertutup yang ditembus cahaya pagi hari. Jam digital di nakasnya menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
Adrian bergegas bangkit dari ranjangnya untuk segera mandi—membersihkan diri dari mimpi buruk yang setiap malam hadir selama empat tahun terakhir. Namun intensitas mimpi ini menjadi lebih buruk dalam sebulan terakhir. Respon tubuhnya sama sekali tak baik setiap kali mimpinya datang. Jantungnya berdetam tak nyaman. Tubuhnya bahkan gemetar. Terkadang Adrian butuh berjam-jam supaya tenang setelah bangun dari tidurnya.
Ini jelas. Adrian semakin gila setiap harinya.
Puas, Lia?, gerutunya dalam hati. Semoga Emilia yang sedang berada di suatu tempat merasa senang melihat betapa tersiksanya Adrian sekarang.
Adrian mendengus. Ia menanggalkan seluruh pakaiannya. Berjalan ke pancuran, menghidupkan air hingga tubuhnya basah. Air mengalir di setiap jengkal tubuhnya, memberikan ketenangan tersendiri ketika dia memejamkan mata seraya menghembuskan napas.
Emilia... Emilia...
Nama itu telah terpatri dalam benaknya. Seperti jarum tato yang menembus kulitnya, tapi lukanya tak kunjung sembuh meski telah sekian lama.
Adrian membawa pikirannya pada Emilia dalam sosok lainnya. Sosok yang dapat menetralisir raut kekecewaan seperti yang tervisual pada mimpinya.
Kini yang ada di benaknya adalah dirinya dan Emilia yang menyusuri pantai. Mereka berlarian, menggoda satu sama lain. Air asin di kaki mereka berkecipak. Emilia tersenyum lebar lantas tertawa saat Adrian berhasil mengejarnya dan menangkapnya.
Kenangan itu membuat hatinya teremas. Namun hangat. Hanya dalam sedetik, Adrian bisa melupakan betapa kejamnya Emilia yang terus menghantuinya. Kini yang ada hanyalah sosok Emilia yang dicintainya, yang ia rindukan.
Sayangnya, saat Adrian membuka mata, hanya kekosongan di dalam dirinya. Ia sendirian di kamar mandinya. Air yang ada kakinya hanyalah air ledeng. Adrian menyandarkan dahinya ke dinding. Rintihan pun tak kuasa ia tahan untuk keluar dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Fault
RomanceSURRENDER SERIES #2 √ Completed √ ~ Bertahun-tahun sudah Adrian dihantui kesalahannya di masa lalu. Ia tak lagi bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun ketika wanita di masa lalunya terus berada di pikirannya. Adrian butuh bantuan. Ia memutuska...