SF - BAB 27

9.7K 913 9
                                    


Enjoy! Jangan lupa support dengan vote dan komentar :D :D :D

Helaan napas dilepaskan Delia begitu palu hakim diketuk sebanyak tiga kali. Harusnya ia menyesal atau menangis, setidak-tidaknya sedih, tapi Delia tak merasakan apapun ketika hakim akhirnya memutuskan bahwa Delia dan Ardan resmi bercerai.

Ardan. Pria itu masih terlihat sama berantakannya seperti setiap harinya. Ardan bangkit tanpa melirik Delia sedikit pun begitu sidang penentuan itu berakhir. Ia berjalan menuju pengacaranya, Tuan Fredy mengatakan sesuatu yang dibalas dengan sekali anggukan oleh Ardan, lalu pria itu melenggang keluar meninggalkan ruang sidang.

Tuan Fredy mendekati Delia dan mengangguk sopan. "Terima kasih atas kerja samanya, Nyonya Delia. Tuan Narendra menitipkan salam untuk Anda. Sepertinya dia sedang terburu-buru dengan pekerjaan kantornya."

Delia melambaikan tangan tak acuh. Berjalan mendahului Fredy, namun pria itu mengikutinya. Jadi Delia berusaha untuk meninggalkan beberapa kata yang justru tak ia rencanakan. "Jangan berbasa-basi, Tuan Fredy. Aku tinggal di atap yang sama dengan orang itu selama empat tahun. Dia mungkin sibuk, tapi bukan sibuk mengurus perusahaannya. Dia pasti cukup disibukkan oleh wanita itu. Aku bahkan menduga bahwa Ardan mempunyai keturunan dari wanita itu."

Delia mengingat kembali foto wanita itu. Foto yang diambil di berbagai tempat, diambil dari berbagai sudut, mulai dari wanita itu beraktifitas sampai wanita itu hamil besar. Jika ada emosi yang terbangun dalam diri Delia setelah persidangan ini, satu-satunya emosi sejak hari pernikahannya dengan Ardan sampai detik ini adalah kemarahan.

Delia menggeleng untuk menghapus bayang dalam pikirannya. Kepalanya berdenyut-denyut ketika mulai berpikir lebih keras. Akhirnya ia mohon diri pada Tuan Fredy dengan nada sedikit ketus. "Aku banyak urusan juga. Terima kasih juga atas kerja samanya."

Delia berusaha melangkah lebih cepat menuju ke mobilnya. Begitu berada di dalam mobil, ia secepat kilat menyalakan mesin supaya bisa menyalakan pendingin untuk menetralisir panasnya cuaca Jakarta pukul sebelas siang. Delia menyandarkan punggungnya ke kursi kemudi seraya mengambil dan membuang napas. Ia harus lebih tenang karena belum sepenuhnya menyelesaikan trimester pertama. Ia tidak boleh banyak pikiran pada usia kehamilan menuju tiga bulan. Apalagi memikirkan hal yang jelas-jelas tak ada gunanya.

Biar saja Ardan bersama dengan wanita bernama Lia itu. Buat apa sih Delia peduli? Toh Delia dan Ardan pun sudah resmi bercerai sekarang. Delia bukan lagi Nyonya Narendra. Delia hanya Delia Fransiska.

Sekarang hanya ada Delia dan janinnya.

"Kau bisa, Delia," gumam Delia pada dirinya sendiri. "Kau bisa menjalani semua ini." Ia mengelus perut datarnya dan tersenyum. "Hanya ada kita, kan, Sayang? Aku akan melindungimu. Aku janji."

Delia memindah kopling dan mulai melajukan mobilnya ke rumah sakit. Sidang ini membuat Delia terlalu banyak meminta dispensasi pada pihak rumah sakit, namun Delia sudah berjanji akan kembali begitu semua urusan selesai. Delia tidak bisa mengorbankan reputasinya sebagai psikolog karena ia pun membutuhkan banyak uang untuk biaya persalinan dan biaya si kecil kelak.

Begitu memasuki pelataran rumah sakit yang ramai, Delia mengernyit karena mendadak kepalanya pening menghadapi keramaian. Delia berhasil memarkir mobilnya dan tidak goyah saat turun dari mobil dengan kakinya. Pening di kepalanya semakin menjadi-jadi saat ia mengingat jadwalnya hari ini. Bahkan mengingat tanggal pun sangat menyiksa untuk dirinya.

Menyerah dengan ingatannya yang tak mau berkompromi, Delia pun melangkahkan kaki ke tempat yang paling dekat, yaitu ruang poli. Delia tidak bisa mengingat apakah hari ini ia berada di ruangannya atau harus berkeliling untuk kunjungan.

Surrender of FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang