SF - BAB 20

12.1K 1K 8
                                    

Enjoy! Jangan lupa support cerita ini dengan vote dan komentar :D :D

Setelah mengetahui kepergian Emilia, Adrian tahu bahwa rumah sakit tak terlalu berdampak pada dirinya. Jadi, hari ini, ketika Adrian memutuskan pergi ke rumah sakit untuk menemui Delia, tak ada lagi ketakutan yang sebelum ini menggelayutinya.

Adrian mendaftarkan dirinya untuk melakukan konsultasi, namun perawat yang mengurus meja depan berkata bahwa Delia sedikit terlambat untuk praktek hari ini. Adrian setuju untuk menunggu karena ia tak mau ditangani orang lain selain Delia.

Adrian termenung di ruang tunggu seraya mengamati orang-orang yang lalu lalang. Ia sengaja pergi dari rumah untuk memberi jarak pada Ryan. Adrian tahu bahwa ini tak akan mudah bagi keduanya. Adrian hanya harus berjuang dan pantang menyerah seperti yang dikatakan benaknya yang bersuara selembut Emilia, seperti William yang lebih mengerti kepribadian Ryan.

Inilah yang membuat Adrian risau. Meski Adrian tidak mengalami mimpi buruk yang mengawali seluruh kegilaannya selama empat tahun ini, ia masih perlu pandangan dari orang lain untuk mengambil keputusan. Cukup sekali Adrian mengambil keputusan, dan itu justru menghancurkan hidupnya. Atau katakanlah, saat ini Adrian perlu berbagi sejenak tentang hubungannya dengan Ryan.

Delia mungkin mengerti dan memberi nasihat berguna dari sudut pandang seorang psikiater. Delia pasti tahu betul bagaimana dan apa yang harus Adrian lakukan dengan tingkat emosional seperti sekarang ini, seberapa jauh langkah yang harus Adrian ambil jika melihat keadaan yang terjadi saat ini. Delia mungkin juga tahu emosi yang terjadi pada Ryan, jika Adrian menceritakan runtutan perilaku anak itu. Toh, saran Delia untuk mengejar Emilia dan Ryan cukup berguna meski banyak yang harus dikorbankan.

Itu sudah dua puluh menit lamanya Adrian menunggu psikiaternya. Delia terlihat datang dari arah lorong barat dengan langkah tergesa diikuti perawat asistennya. Delia berjalan cepat seraya memakai jas putihnya. Ketika matanya bertemu dengan Adrian, wanita itu tersenyum.

Namun... senyum itu terasa aneh.

"Adrian..." Delia mengulurkan tangan pada Adrian sebagai pembuka. Adrian membalasnya. "Lama sekali tidak bertemu. Maaf aku sangat terlambat. Kau datang mendadak. Sebenarnya aku sudah menjadwal ulang janji temu pasienku hari ini, tapi sepertinya, kau berniat memberiku kejutan."

Delia membuka tangan ke arah ruangan yang telah terbuka oleh sang perawat, mempersilahkan Adrian masuk. Delia mengatakan sesuatu pada asistennya, yang tak dapat Adrian dengar. Kemudian perawat itu meninggalkan Adrian dan Delia di ruangan itu seraya menutup pintu.

"Silahkana duduk," kata Delia dengan nada profesional, mengarahkan tangannya ke arah sofa empuk yang nyaman. Delia bergabung setelah Adrian terduduk. "Jadi... kupikir kau tak hanya menanyakan kabarku?"

Adrian terkekeh pelan. "Aku merindukanmu."

Delia tertawa sekilas. "Wow... Itu sangat—"

"Itu serius," potong Adrian. Ia membalas tawa Delia dengan sebuah senyuman. "Aku senang sekali ketika melihatmu berjalan di lorong menghampiriku."

"Yang artinya, dokter sudah datang, aku tak perlu menunggu lebih lama?"

Adrian tergelak. "Itu juga. Tapi yang tadi itu sungguhan."

"Terserah saja." Delia menggeleng dan mulai membuka catatannya. Ia menyiapkan pena, seperti biasanya, untuk mencatat curahan hati Adrian.

Melihat Delia bersiap-siap seperti itu, entah bagaimana membangkitkan hasrat dalam diri Adrian. Wanita itu terlihat sensual ketika membawa anak rambut nakal ke belakang telinga. Wajah serius Delia terlihat sangat cantik. Bibir penuh, kenyal, dan kemerahan itu juga masih menyebabkan efek sama pada diri Adrian.

Surrender of FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang