SF - BAB 18

10.1K 900 6
                                    

Enjoy! Jangan lupa support dengan vote dan komentar :D

Semoga suka.

Ryan tersenyum lebar seraya merangkul Emilia, ibunya yang tersenyum lembut di foto itu. Senyum Ryan yang tak pernah Adrian lihat, senyum Emilia yang hanya bisa Adrian lihat dalam memorinya. William berbaik hati memberikan satu foto Emilia dan Ryan sebagai kenang-kenangan. Selembar foto ini berarti banyak untuk Adrian sebelum ia kembali ke Indonesia dan meninggalkan Ryan menjalani kehidupan di sini dengan semestinya.

Adrian memasukkan foto itu ke saku mantelnya. Ia menarik koper dan menghela napas sebagai ucapan selamat tinggal untuk Amerika. Adrian rela jika Ryan tidak mau berhubungan lagi dengannya. Inilah yang harus Adrian jalani untuk menebus tahun-tahun berat yang Emilia dan Ryan jalani.

Setidaknya William mau berbaik hati memberikan kabar jika Adrian mau. Adrian bersyukur Emilia berakhir dengan William. Dengan begitu, Adrian tahu bahwa Emilia pernah dijaga orang yang tepat.

Bersamaan dengan lagkah pertama Adrian sebelum keluar pintu kamar rawatnya, pintu terbuka dan menampakkan William yang sedang menggendong Emily dan Ryan dengan wajah gusar seperti biasanya.

"Hai... Kau sudah bersiap-siap," kata William.

Adrian mengangguk. "Ya. Penerbanganku sekitar dua jam lagi. Aku tak mau ketinggalan pesawat."

William tersenyum. "Kalau begitu, mari kami antar."

Melihat wajah gusar Ryan, Adrian pun tak ingin menimbulkan masalah. "Terima kasih. Tapi kurasa aku akan baik-baik saja. Aku takut mengganggu waktu kalian."

William terkekeh. "Tidak mengganggu sama sekali. Aku bisa mengurus pekerjaanku di mana saja, Em sedang libur musim panas, dan Ryan baru saja menyelesaikan SMA-nya."

"Tidak apa-apa," sahut Em kecil. "Aku suka pesawat terbang. Ryan bilang, aku bisa melihat awan dan melompat-lompat di atasnya."

Mereka semua terkekeh dengan kepolosan Emily. Adrian melirik Ryan yang tersenyum segaris, bersusah payah tidak menunjukkan senyum di depan Adrian. Jika saja putranya itu sedikit luluh, Adrian pasti bahagia bukan main.

"Ayo kita berangkat," ujar William.

Mereka berjalan beriringan ke pelataran parkir. Keheningan masih saja terjadi ketika Adrian berjalan di samping Ryan. Bahkan hingga waktu terakhir Adrian, putranya sama sekali tak sudi mengajaknya bicara.

Ketika bersiap memasuki Range Rover milik William, Em menyahut. "Aku sudah besar! Aku mau duduk di depan sendiri."

William tersenyum. "Kau mendapatkan tempatmu, Tuan Putri."

"Kursi depan adalah milikku, Em," kata Ryan bersungut-sungut. "Kalau kau duduk depan, kau akan melihat monster lebih dulu."

"Tidak!" teriak Em. Mata gadis kecil itu mulai memerah karena Ryan menggodanya. "Tidak, Ryan. Ayah akan melindungiku di depan dengan sabuk pengaman."

"Em-"

"Ryan," William menghentikan putranya. "Emily baru berumur empat tahun, demi Tuhan. Kau bisa mengalah."

"Menyebalkan," cibir Ryan. Ia masuk ke bagian belakang dan membanting pintu saat menutupnya.

William menghela napas dan melemparkan senyum kikuk pada Adrian. "Anak-anak," kata William merasa tak enak pada Adrian.

Adrian mengangguk maklum. Bahkan ia salut dengan kehidupan William yang terkesan lebih sempurna meski dia harus menjadi orang tua tunggal untuk seorang balita dan remaja labil dalam proses pendewasaan.

Surrender of FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang