SF - BAB 32

12.1K 920 11
                                    

Enjoy!

Delia sudah mencoba tenang sepanjang perjalanannya ke rumah sakit. Tetapi nihil. Ia tetap merasa cemas sejak menerima panggilan dari Erdina yang mengabarkan bahwa sang mantan suami baru saja mengalami kecelakaan.

Delia segera turun dari taksi yang ditumpanginya, mempercepat langkahnya menuju Ruang Gawat Darurat. Ia meneliti setiap bilik yang ada. Di bilik paling ujung, suara Ardan dan Erdina yang tengah bercakap-cakap terdengar.

"Tidak cukup kah masalah yang sudah kau timbulkan?" hardik Erdina. "Apakah kau tidak memakai otakmu ketika meminta Delia menandatangani surat perceraian?!"

"Tidak." Suara tegas nan dingin Ardan terdnegar. "Aku tidak menggunakan otakku. Aku telah kehilangan akalku sejak aku kehilangan Lia. Aku hanya mengikuti kata hatiku bahwa pernikahanku dan Delia tak bisa diteruskan."

Delia terdiam. Langkahnya terhenti. Kakinya terpaku. Ia bahwa perlu meraih dinding terdekat supaya bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Apa yang bisa menopang Delia sekarang? Harusnya Delia sudah tahu. Delia sering mendengar itu dari mulut Ardan, lebih sering daripada siapa pun. Namun rasanya tetap saja menyakitkan ketika dihadapkan dengan kenyataan itu.

Apakah Delia tak pantas mendapatkan cinta dan kasih?

Sedikit saja perhatian Ardan.

"Itu sebabnya kau cocok dengan Delia." Erdina melanjutkan. "Dia akan melengkapi dirimu. Setidak-tidaknya dia bisa mengurusmu. Kenapa kau terus-menerus mengingat wanita itu?! Dia bahkan bisa saja sudah menikah dan punya anak, atau bahkan mati."

"Diam, Erdina!" bentak Ardan. Delia bahkan berjengit mendengar itu. Perawat pun menengok ke arah bilik Ardan, namun mendengar suara berat itu pun, mereka gentar. "Memangnya kenapa kalau Emilia sudah meninggal? Aku tetap mencintainya apapun yang terjadi."

"Oh!" Erdina terkekeh tanpa humor, bahkan terkesan sinis. "Jadi benar, ya, dia sudah mati. Kau pasti mencari tahu tentang wanita itu, ya? Kau hanya membuang-buang waktumu untuk wanita itu, kau tahu. Tapi baguslah. Setidaknya sainganku berkurang satu."

"Kau gila, Erdina," geram Ardan.

Lagi, tawa itu terdengar dari mulut Erdina. "Bukan aku yang gila. Kau jelas-jelas gila karena wanita itu."

"Kau punya Steve sebagai suamimu! Dan kau masih menganggap Lia adalah saingan?!"

"Hei!" gerutu Erdina. "Lihat dirimu! Kau punya istri Delia tapi duniamu berhenti pada seseorang yang bahkan sudah mati."

Delia tersentak mendengar itu. Jadi selama ini dirinya bersaing dengan seseorang yang telah tiada? Pantas Ardan tak pernah berusaha peduli sedikit saja padanya. Disandingkan dengan sosok sebuah kenangan, membuat Delia tak bisa melakukan apa-apa.

Dengan langkah gontai, Delia menuju ke bilik Ardan. Pria itu terkejut selama sedetik sebelum wajah dinginnya kembali terpasang. Ia membuang muka dari Delia.

"Bagaimana bisa dia di sini?" tanya Ardan ketus.

"Aku yang meneleponnya," tukas Erdina.

Ardan terlihat baik-baik saja selain perban yang meliliti dahinya. Pria itu bahkan duduk tegak seolah kecelakaan itu tak mengganggu tubuhnya sama sekali.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Delia.

"Aku baik. Pergilah."

Erdina melotot dan menampar pelan pipi Ardan tanpa memedulikan kecelakaan yang baru saja menimpa lelaki itu. Ardan bahkan masih tak bergeming di posisinya. Rahangnya menegang sesaat dan wajahnya tak mau menatap siapapun di antara Delia maupun Erdina. "Sejak kapan aku punya adik brengsek sepertimu?"

Surrender of FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang