SURRENDER SERIES #2
√ Completed √
~
Bertahun-tahun sudah Adrian dihantui kesalahannya di masa lalu. Ia tak lagi bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun ketika wanita di masa lalunya terus berada di pikirannya. Adrian butuh bantuan. Ia memutuska...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jangan lupa follow :D :D
Enjoy! Klik bintang untuk vote dan komentar untuk kritik dan saran membangun. :) :)
Selama perjalanan pulang, hanya keheningan yang terjadi pada Adrian dan Ryan. Adrian sebisa mungkin menyetir dengan aman meski konsentrasinya benar-benar buyar karena pikirannya melayang-layang. Kecemasan dan kebahagiaan melebur menjadi satu, tak sanggup Adrian pilah. Sementara Ryan, anak itu masih saja terus membuang muka setiap kali terjebak di ruang yang sempit bersama Adrian. Setelah lebih dari sebulan Adrian tinggal bersama Ryan, Adrian mulai terbiasa dengan sikap anak itu yang terkadang dingin, hanya menjawab seperlunya, namun kerap kali pula berusaha ramah. Meski begitu, Adrian memilih untuk tidak mengusiknya.
Butuh waktu. Butuh proses. Butuh penyesuaian. Butuh lebih banyak pengorbanan.
Yang Adrian lakukan untuk Ryan belum sebanding dengan delapan belas tahun kebodohannya yang menyia-nyiakan Emilia dan Ryan.
Apakah Adrian akan menjadi ayah yang seperti itu juga nantinya? Apakah Adrian pantas bersanding di samping Delia dan menjadi panutan bagi anak-anak mereka? Tetapi Adrian tidak bisa mengulangi kesalahan yang sama dengan melepaskan Delia.
Kenapa semua masalah tiba-tiba menumpuk di satu waktu seperti ini?
Cara untuk lebih mendekatkan diri pada Ryan, belum juga mencapai titik terang. Bagaimana menghadapi tekanan keluarga Salendra pun, sekarang ini masih berada di ambang. Lalu bagaimana Adrian memberi tahu Ryan tentang Delia dan bayi mereka? Bagaimana semua ini akan berlanjut?
"Kapan pertama kali kau patah tulang?" tanya Adrian. Ia mulai membuka topik untuk mengalihkan pikirannya tentang banyak hal yang tengah mengendap di kepalanya. Adrian enggan menduga-duga kemungkinan terburuk supaya tetap berada dalam batas kewarasannya.
"Empat belas." Ryan menjawab tanpa menatap Adrian. Sesekali Adrian perlu mengalihkan perhatian dari jalanan ke anak itu, sehingga ia tahu Ryan tengah mengendikkan bahu. "Perginya ibu terlalu sulit kuterima. Aku mengalihkan perhatian ke papan skateboardku. Aku terus bermain skateboard, jatuh, kesakitan, lalu bangkit lagi. Aku tak peduli jika pulang dalam keadaan memar atau berdarah. Yang jelas, itu lebih baik daripada hanya berada di rumah dan menatap foto ibu. Retak tulang menyadarkanku bahwa aku harus berhenti dan segera memulai hidup."
Apakah ini pertanda? Apakah Ryan bermaksud mengungkit Emilia untuk mengingatkan Adrian betapa hidupnya menjadi sulit dan ia membutuhkan sosok seorang ayah?
Ryan... atau Delia dan si kembar?
Tapi ini bukanlah pilihan. Adrian tak akan pernah bisa memilih.
"Kau sangat menyayangi Emilia," gumam Adrian. Begitu pun aku. Emilia tak akan senang jika aku melakukan hal yang sama pada Delia.
Ryan menyeringai. "Sudah jelas, kan? Aku punya segala alasan yang membenarkan bahwa berdiri di samping ibuku adalah hal benar. Dia benar tentang segala hal. Termasuk memberimu kesempatan. Kupikir... itu hal yang benar."