SF - BAB 12

12.5K 923 11
                                    

Nama Adrian di arena pertandingan adalah satu-satunya yang tenar di sini. Beberapa orang yang menggemari olahraga sepak bola, mungkin mengenalinya. Tapi tak sedikit dari mereka yang mengira Adrian adalah Derian. Sekarang Adrian tahu bagaimana rasanya menjadi Derian yang dikira pencetak gol saat tim nasional berhasil membawa pulang piala.

Seperti orang di depannya ini. Namanya Frans Wijaya. Dia bahkan mengingat jelas nomor punggung kebanggaan Adrian ketika melihat wajahnya. "Jadi ternyata dugaanku benar bahwa kau memang punya hubungan dengan Salendra."

Adrian mencoba tersenyum. "Begitulah."

"Aku tak mengira salah satu anak Satya Salendra adalah bintang di lapangan hijau. Tapi kau tahu, nama dan keahlianmu di lapangan benar-benar terkenal."

"Apa yang bisa diharapkan dari kumpulan pria yang berlari ke sana-sini hanya untuk berebut bola?"

Frans tergelak mendengar Adrian. "Aku suka kau. Kenapa kita baru bertemu hari ini? Aku sudah sering bertemu dengan Salendra dan putranya, tapi aku baru hari ini bertemu denganmu. Kau tahu, kalian memang sama, tapi tetap saja berbeda."

Adrian mengendikkan bahu. "Aku tak terlalu suka acara semacam ini. Derian jauh lebih netral jika berada dalam suasana ini. Tempat ini, acara ini, terasa asing untukku."

"Apakah tak ada perayaan seperti ini setelah kau bertanding?" tanya Frans seraya menyesap anggurnya.

"Tentu saja ada," jawab Adrian. Ia cukup bangga menceritakan betapa hebat tim yang selama ini mengiringinya. "Tapi kau tahu, setelah bertanding, telinga kami sedikit berdenging karena pengaruh suasana stadion yang masih membekas. Jadi semua orang berteriak di sana-sini. Acara ini hanya terlalu hening."

Frans mengangguk karena terlihat antusias dengan cerita Adrian. "Aku benar-benar menyukaimu. Aku punya tiga cucu laki-laki, semuanya ingin menjadi pemain bola."

"Itu bagus," kata Adrian. "Apakah mereka memasuki sebuah klub?"

"Ya," Frans mengendikkan bahu. "Mereka hanya anak-anak yang belum menghargai proses." Frans mengeluarkan kartu nama dari jasnya dan memberikannya pada Adrian. "Mereka mungkin perlu kata-kata motivasi dari pemain hebat sepertimu. Kau mungkin bisa menghubungiku. Aku pasti punya suatu tempat yang bisa kuberikan padamu pada bisnisku. Yah, ini menggelikan ketika Salendra jauh lebih besar dari perusahaanku, tapi aku benar-benar menyukaimu. Aku hanya menawarkan kegiatan yang mungkin membuatmu tertarik setelah kau pensiun dari tim."

"Terima kasih, Frans." Adrian sungguh-sungguh menghargainya.

"Tentu," Frans tersenyum, lalu ibu jarinya menunjuk arah lain. "Aku harus ke sana."

"Oke." Adrian mengangguk. Namun ia menghentikan Frans sebelum melangkah menjauh. "Frans! Siapa nama cucu-cucumu?"

Frans tersenyum. "Leo, Andika, dan Rei."

Adrian mengangguk. "Aku akan mengingatnya."

Ini tidak terlalu buruk untuk Adrian. Membaur dengan sekitar sementara dirinya hanya berada di pesta ini, terbebas dari pertanyaan membosankan dari ayahnya, dan menjauh dari Derian yang menciptakan atmosfer permusuhan di sekitarnya meski mereka adalah saudara kembar.

Mungkin Adrian memang tidak terlalu cocok berada di sini karena kebanyakan dari pengunjung hanya membicarakan bisnis, investasi, dan saham. Meski Adrian cukup mengerti karena sekarang ia juga menjalankan bidang yang sama, namun Adrian cukup tahu seberapa besar skala obrolan mereka. Beberapa dari mereka mungkin membicarakan hal di luar itu, tapi Adrian benar-benar tak tertarik mengikutinya.

Jadi Adrian berada di titik nyamannya saat ini, berdiri menikmati anggur dan mengamati setiap pengunjung yang datang. Beberapa wajah terlihat familiar karena Adrian pernah melihat mereka dalam versi yang lebih muda, tapi Adrian tak ingin dikenali. Tidak di sini.

Surrender of FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang