"Aku tak percaya dengan semua hal konyol ini." Ryan menghela napas sembari berkonsentrasi dengan jalan di depannya. Ia menggerutu sepanjang perjalanan menyetir dari rumah Adrian menuju ke apartemen. "Ini aneh."
Adrian setuju. Ini terlihat tak lazim tapi Adrian tak bisa memikirkan cara yang lebih membantu. Ia butuh dorongan. Ia terlalu jauh dari Delia yang biasa memberinya motivasi. Sekarang ini ia hanya punya Ryan. Jadi ia meminta tolong pada Ryan.
Demi Tuhan, Adrian sudah gugup sepanjang perjalanan. Ia berkali-kali memastikan penampilan tapi apa yang ia lihat tak pernah cukup pantas. Ia telah berusaha menenangkan hatinya dengan menghela dan mengembuskan napas berkali-kali, namun itu juga tak membantu. Entah sejak kapan Adrian punya kebiasaan buruk ini, tapi akhirnya ia menggigiti kukunya karena kecemasan yang tak kunjung surut.
Ryan memarkir mobilnya di basement. Adrian berusaha menyiapkan diri berkali-kali tapi setelah melihat gedung itu, yang ia rasakan hanya semakin gugup.
"Ayo turun," kata Ryan setelah menarik kunci dan membuka pintu.
Adrian menahan diri. "Bagaimana menurutmu?"
"Apa?"
"Penampilanku."
Ryan mendengus. "Adrian, kau ini tiga puluh enam tahun. Astaga! Ini bukan kali pertama kau berkencan."
"Sebenarnya ini kali pertama setelah bertahun-tahun," kata Adrian pelan. "Aku serius, bagaimana penampilanku?"
Ryan mengamati Adrian sekilas dari ujung kepala ke ujung pinggang. Sebenarnya tak ada yang berbeda. Adrian hanya menggunakan kemeja putih yang lengannya digulung, memadukannya dengan celana jins. Adrian sendiri tak tahu mengapa harus khawatir pada penampilannya. Padahal inilah penampilan Adrian Salendra sehari-harinya.
"Biar kulihat. Aku sedang melihat seorang pria brengsek." Ryan mengamati lagi. "Sayangnya, dia mirip diriku. Sekarang, keluar dari mobil sialan ini."
Adrian sama sekali tak sakit hati. Ia terlalu kebal. Atau kegugupan ini justru membuatnya kebal. Jadi ia bergumam, "Terima kasih."
Mereka turun bersama dan berjalan beriringan memasuki gedung. Beberapa orang mengamati dua orang serupa dari generasi berbeda itu dengan pandangan menilai. Semua orang bahkan terus mengamati Adrian dan Ryan hingga dua orang itu hilang dari pandangan. Meski Ryan berpenampilan lebih acak-acakan dengan rambut memanjang yang dicat pirang, celana jins robek, dan kaos; mata telanjang pun mampu melihat bahwa mereka adalah ayah dan anak.
Keduanya terjebak dalam keheningan ketika berada di lift, hingga akhirnya Adrian memecah suasana itu. "Seberapa sering kau bertemu Delia?" tanya Adrian.
Ryan mengendikkan bahu seraya mengamati angka bergerak naik. "Jujur saja, aku baru bertemu dengannya sekali saat sedang belanja di bawah. Sekitar seminggu yang lalu. Ketololanku ke sekian kalinya karena lupa membawa rupiah. Aku mampir ke apartemennya. Dia... oke, tapi payah ketika memasak panekuk instan."
Adrian menahan senyum ketika mendengar itu. Ia melempar kembali memori tentang telur yang asin hingga membuat wanita itu sesenggukan. Batin Adrian menghangat. Rasanya lift ini bergerak sangat lambat, karena sekarang ini Adrian benar-benar merindukan Delia.
Mereka tiba di lantai empat, di mana apartemen Delia dan Ryan berada.
"Kau... mau mampir?" tanya Ryan.
Adrian melihat pintu akrab itu. Lorong yang bahkan punya banyak kenangan. Adrian hanya membeku di sana, lalu menggeleng. "Masih sangat berat untukku."
Ryan mengangguk lalu menekan bel apartemen Delia. "Ini akan sangat gila."
"Aku tahu." Adrian mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Fault
RomansaSURRENDER SERIES #2 √ Completed √ ~ Bertahun-tahun sudah Adrian dihantui kesalahannya di masa lalu. Ia tak lagi bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun ketika wanita di masa lalunya terus berada di pikirannya. Adrian butuh bantuan. Ia memutuska...