SF - BAB 10

13.4K 901 6
                                        

Perasaan tak menentu menggurui Adrian ketika menatap cincin dalam genggamannya. Emilia sudah lama melepasnya. Tapi mengapa bayangan Emilia terus mengikat benaknya dan menyiksa rohaninya? Bahkan ketika Adrian mengetahui kenyataan bahwa Emilia telah melepaskan semua yang mereka miliki, Adrian masih saja merasakan sakit di dadanya.

"Aku mencintaimu dan akan selalu begitu," gumam Adrian tanpa lawan bicara. Menggenggam cincin itu. Tangan terkepal di dadanya. Air mata meluncur dan tak sanggup ia hentikan. Adrian tak lagi peduli jika orang lain mengatainya cengeng. Kenyataannya Adrian sudah terlalu hancur akibat menanggung ulahnya sendiri. "Apa yang harus kulakukan?"

Adrian terisak-isak di ranjangnya. Menatap foto Emilia yang cantik. Dadanya bergemuruh seolah ingin lepas dan lari mengejar Emilia sampai dapat, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain meratapi ini.

"Tuan?" Suara ketukan di luar sana menarik Adrian supaya kembali ke dunianya. Itu Nana. "Maaf, mengganggu, Tuan. Ada tamu yang ingin bertemu Anda."

Adrian segera mengusap air matanya dan membersihkan tenggorokannya. "Tunggu sebentar!"

Adrian meletakkan foto dan cincin Emilia di lemarinya. Memastikan kembali penampilannya, lalu membuka pintu untuk menemui tamunya. "Siapa yang datang?" tanya Adrian pada Nana yang telah berdiri di depan kamarnya.

"Seseorang yang... mirip Tuan."

Adrian membeku. Ia tak menyangka akan mendapatkan tamu, karena ia memang tidak pernah berusaha memperluas jaringan selain urusan pekerjaan. Mendengar bahwa saudara kembarnya di sini, Adrian mau tak mau memang terkejut.

Ketika tiba di ruang tamu, Adrian melihat punggung pria itu mengarah padanya. Ia mengenakan setelan rapi dan berbau golongan pebisnis. Meski sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu, Adrian yakin adiknya masih serupa dengannya.

"Derian..."

Pria itu membalikkan tubuhnya. Dan benar saja, satu-satunya yang berbeda dari mereka adalah dagu Derian yang bersih dari janggut, sementara Adrian tak pernah benar-benar mengurus diri sendiri dalam jangka waktu rutin. Apalagi hanya untuk mengurusi janggut.

"Kakak..." Derian menyeringai dan Adrian tak pernah menyukai tarikan bibir yang satu itu. "Aku belum menunjukkan wajahku, tapi sepertinya aku tidak mengejutkanmu."

"Maaf mengecewakanmu." Adrian bisa merasakan betapa dinginnya suasana kedua bersaudara ini. "Asisten rumah tanggaku cukup pintar mendeskripsikan dirimu," ujar Adrian. Ia mengarahkan tangan ke arah sofa. "Silahkan duduk."

Alih-alih menerima tawaran Adrian, Derian justru tertawa. "Kau pikir aku di sini untuk bertamu dan beramah-tamah padamu?" Ia mengamati dan menilai kediaman Adrian. "Rumah yang bagus. Tidak sebesar milik keluarga kita, tapi ini besar. Dan jelas jauh lebih besar dari rumah yang bisa kubeli. Kau menunjukkan dirimu betapa kau bisa berhasil meski kau harus membangkang."

Adrian memasukkan tangan ke saku celana. Menghela napas. "Kupikir kau tidak ingin beramah-tamah, jadi aku langsung saja ke intinya. Mau apa kau ke sini? Dari mana kau tahu rumahku di sini?"

Derian tertawa. "Kau masih tinggal di dunia yang sama denganku, kan? Tempat ini masih satu kota meski jaraknya cukup jauh. Bukan perkara sulit untuk menemukan Salendra Nomor 8. Aku masih mengingat bagaimana teman-teman di kampusku mengira yang memenangkan piala ASEAN itu adalah aku."

Adrian menaikkan alisnya. "Setelah lebih dari dua belas tahun ayah dan ibu menolak aku dan prestasiku untuk sekian-sekian kalinya. Setelah apa yang terjadi pada keluarga kita. Apakah mereka masih mempertahankan pendirian mereka?"

Derian mengendikkan bahu. "Itu tergantung. Aku benci mengatakan ini, tapi... aku diberi tahu supaya menanyakan ini lebih dulu—maukah kau memegang perusahaan? Salendra Group yang telah dibangun kakek dari nol?"

Masih saja masalah itu. Tak peduli meski waktu ke waktu telah berganti, ayahnya tetap mendoktrin diri seperti ini. Adrian menggeleng. "Kau sudah tahu jawabanku, Derian. Aku tetap pada pendirianku untuk mandiri. Bukankah ayah seharusnya bangga padaku setelah apa yang kulakukan? Aku telah membuktikan diri dengan meraih cita-citaku dan sekarang aku cukup mampu untuk menghidupi diri tanpa bantuannya."

"Itu menyakitiku, Adrian," kata Derian dengan mimik sedih yang dibuat-buat. "Kau mengataiku secara tidak langsung. Kau seolah-olah mengolokku karena aku tidak bisa berdiri sendiri di luar uluran tangan ayah kita, tidak sepertimu. Harusnya kau berterima kasih karena aku menggantikan posisimu sebagai pewaris utama. Kau justru membangkang dan lari bersama bolamu dan wanita itu. Kau menggiring bola ke sana ke mari dengan wanitamu—siapa namanya, ya? Emilia, kan? Oh ya, Emilia. Dia berteriak menyemangatimu setiap kali kau bertanding—"

"Cukup!" bentak Adrian. Tangannya mengepal. Rahangnya menegang menahan amarah. Ia benci Emilia disangkut pautkan dengan masalah keluarganya yang pelik. Satu-satunya sumber masalah adalah pendirian orang tuanya yang kuno dan tak pernah mau diganggu gugat. "Jangan pernah kau bawa-bawa Emilia! Dia tidak bersalah!"

Derian tertawa terbahak-bahak melihat kemarahan Adrian. Jika saja Adrian tidak mengingat bahwa mereka pernah berada di rahim yang sama, Adrian sangat ingin menghabisinya. "Kau menjadi seperti ini karena wanita itu? Kau bodoh, Adrian. Lihat dirimu sekarang! Apakah wanita yang kau genggam tangannya saat membangkang ayah kini ada di sampingmu? Pikirmu aku tak tahu seperti apa hidupmu sekarang?" Derian mengambil langkah mendekat perlahan. "Belum menikah. Tidak berkeluarga. Pensiun di usia produktif. Pernah keluar dari rumah sakit jiwa karena keinginan menyakiti diri."

Adrian terhenyak. Ia cukup terkejut karena Derian yang tak pernah ditemuinya bertahun-tahun justru lebih tahu. "Bagaimana kau bisa tahu?"

Derian tertawa. "Aku tak boleh mengatakan ini, asal kau tahu. Ayah mengetahui segalanya. Aku juga ingin tahu apa yang kakakku alami. Kami sama-sama hanya ingin tahu, apakah kau benar-benar berhasil dengan prestasi yang orang elu-elukan? Apa jadinya jika penggemarmu tahu bahwa kau pernah sakit jiwa?" Derian menggeleng. "Kau tak cukup berhasil. Kau telah hancur sebelum kau menyadarinya."

"Apa maumu?" tanya Adrian yang mulai kehilangan kesabaran. "Aku telah memberikan posisiku sebagai pewaris untuk kau tempati. Itu, kan, maumu selama ini? Tentu kau tak perlu lagi khawatir dan berhentilah mengusik kehidupanku."

Derian mendengus. "Pikirmu aku mau membuang waktuku hanya untuk ini? Untukmu? Yang hanya terpaut empat menit dariku, tapi kau mendapatkan segalanya? Aku mungkin akan maklum jika kita memang kakak beradik selisih satu atau dua tahun. Tapi kita hanya selisih empat menit, Adrian. Harusnya ayah lebih adil karena kita kembar. Kita sudah berbagi rahim, seharusnya kita membagi segalanya bersama. Bukan kau yang anak emas. Harusnya kita!"

Adrian hanya terdiam. Ingatannya samar-samar mengingat bagaimana ayahnya terus mendorongnya menjadi yang terbaik, menjadi yang sempurna karena kelak ia akan menempati tempat tertinggi di perusahaan keluarga mereka. Adrian menjadi pusat perhatian dengan kelebihan itu. Adrian selalu dielu-elukan ayahnya karena putra sulungnya akan menggantikan dirinya. Berbeda dengan Derian yang tak pernah mendapatkan perlakuan khusus yang sebenarnya membuat Adrian muak. Sering kali Adrian merasa iri karena Derian tak pernah mendapatkan tuntutan seperti yang ia terima. Tak peduli betapa Derian selalu berusaha memukau sang ayah, tetap saja perhatian ayahnya hanya tertuju pada kemampuan yang tengah dicapai Adrian.

Namun sejak hadirnya Emilia dalam hidupnya, Adrian merasa sempurna. Ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersama cinta pertamanya itu. Emilia selalu mendukungnya. Emilia selalu berada di barisan terdepan menyemangatinya. Bahkan ketika tak ada lagi orang yang peduli kepadanya, Emilia akan menjadi satu-satunya orang yang akan menyokongnya meraih apa yang Adrian inginkan.

Itulah mengapa Adrian masih baik-baik saja meski ia melepaskan diri dari ayahnya, karena Emilia berada di sisinya, karena Emilia adalah banyak alasan yang membuat Adrian berada di titik ini.

"Aku tak mau membuang banyak waktuku di sini," kata Derian. Ia melemparkan sebuah undangan ke meja, yang tulisannya tak mampu Adrian baca dari jarak ini. "Datanglah jika kau masih merasa ingin menyandang nama belakang Salendra. Bukankah nama itu terdengar bagus ketika suportermu meneriakkannya di atas tribun? Jika kau tak datang, aku jamin satu-satunya yang kau inginkan bukan hanya mengganti nama belakangmu, tapi juga melepaskan semua yang ayah berikan padamu, termasuk namamu."

Derian melangkahkan kakinya keluar, namun saat di ambang pintu, ia berhenti untuk mengucapkan kata penutup. "Sampai jumpa besok, Kakak."[]

Surrender of FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang