Dy. 04

184 9 0
                                    

4. DEAR YOU - LUKA LAMA MULAI MENGAMBANG.

Setelah kejadian dimana Yura memeluknya di toko, Rana terus saja melamun. Memikirkan bagaimana bila kedua putra serta putrinya itu berada pada posisi Yura yg sama sekali tidak mengenal sosok sang bunda semenjak ia dilahirkan.

Si kembar memang mengenal dirinya semenjak mereka lahir, mereka bahkan tak segan dilimpahkan banyak kasih sayang dari orang terdekat mereka. Hanya saja, perbedaannya mereka belum mengenal sosok ayah mereka sama sekali. Itu yg sedang memenuhi pikiran wanita yg sedang duduk di tepian ranjangnya tersebut. Ia jadi berfikir, bagaimana bila mereka tidak mengenal sosok ayah mereka seperti hal-nya Yura? Apa mereka akan seperti Yura? Ah tidak tidak, Ia tidak boleh berfikiran seperti itu.

Alasan mengapa ia belum mengenalkan sosok ayah kepada mereka karena ia merasa waktunya belum tepat, bukan hanya itu, Ia juga belum sepenuhnya siap membuka luka lama yg sampai sekarang masih berusaha Ia sembuhkan walau sia-sia. Luka itu bahkan masih basah meski sudah bertahun-tahun lamanya.

Hembusan nafas kasar mengakhiri lamunannya malam ini. Lamunan tentang Yura, kedua anaknya juga mantan suaminya. Masalah dulu kembali naik ke permukaan, meskipun hanya masa disaat ia keluar dari rumah dulu dalam keadaan berbadan dua. Juga luka dimana mantan suaminya sama sekali tidak percaya dengannya dan lebih percaya kepada sang ibu.

Ia jadi kepikiran mbok Nem serta Ibunya yg sedang berada di Sidney, karena disaat seperti ini mereka yg bisa membuatnya mengeluarkan segala keluh kesahnya hingga ia rasa lega walau hanya sedikit.

"Mommy?"

Rana mengerjap pelan kemudian menoleh mendapati putri kecilnya sedang berdiri di ambang pintu. Piyama bergambar keropi, guling kecil yg ada didekapannya serta muka bantal dengan tangan mungil yg mengucek matanya membuat Ale terlihat menggemaskan. Ah, putriku pasti mimpi buruk lagi.

"Kenapa sayang? Mimpi buruk lagi?"

Ale mengangguk, membenarkan dugaan sang bunda. Ia bahkan sudah berbaring dengan sendirinya tanpa disuruh oleh Rana membuat sang empu pemilik kamar menggeleng pelan. Tangan Rana mengusap pelan kepala Ale hingga Ale kembali memejamkan kedua matanya.

Sesaat setelah Ale kembali tertidur, ia menatap lekat rupa sang putri yg benar-benar menyerupai mantan suaminya namun dalam versi lawan jenis.

"Mereka bahkan lebih banyak mirip kamu, tae. Hanya warna mata Ale saja yg mirip denganku. Alo bahkan duplikat asli kamu," lirih Rana miris lengkap dengan wajah sendunya. "Nanti, kalau Mommy sudah bisa menata hati Mommy. Mommy janji akan mengenalkan kalian dengan Daddy meski hanya lewat foto. Yg sabar yaa sayang, Mommy sayang kalian."

Rana sudah bertekad untuk menata kembali hati-nya demi kedua buah hatinya. Biarlah ia yg merasa sakit membuka luka lama-nya asalkan kedua buah hatinya bahagia. Setelahnya, ia mulai beranjak memasuki kamar mandi kemudian menyusul Ale ke alam mimpi yg semoga saja membawanya pada esok yg indah nantinya.

***

"Kak?"

Rana tersentak kaget saat Rere menepuk bahunya pelan. Ia yg tengah melamun tidak menyadari Rere yg sedaritadi duduk di sampingnya. Hal itu sontak membuat Rere bingung, bingung akan sifat Rana yg tiba-tiba diam ini. Padahal biasanya wanita itu tidak pernah diam seperti ini, ia tipikal orang yg tidak cerewet tapi selalu menebar senyum ramah membuat semua orang senang kepadanya.

Melihatnya seperti ini mengingatkan dia pada kejadian dimana Rana melahirkan dan menatap si kembar untuk pertama kalinya. Masih teringat jelas bagaimana wanita itu melamun kemudian tiba-tiba menangis tersedu, memanggil sebuah nama yg masih belum Rere dengar karna suaranya yg amat sangat lirih. Dia takut bila Rana kembali seperti dulu, terpuruk dan menangis di setiap malamnya.

"Kakak nggak apa-apa kan?" tanya Rere setelah duduk di samping wanita cantik itu. Tampak Rana menunduk, tak kuasa menahan tangisnya. Rere sontak terkejut, ada gerangan apa dengan wanita yg sudah seperti kakaknya sendiri ini menangis tersedu-sedu.

Tanpa ba-bi-bu Rere langsung memeluk tubuh rapuh wanita tersebut, mencoba menyalurkan sebuah rasa dimana perempuan itu tidak sendiri ada dirinya dan juga si kembar yg akan selalu ada di barisan terdepan untuk melindunginya.

"Kakak, hiks," suara rana tersendat tangisannya membuat Rere tak kuasa mendengarnya, "Sudah tidak usah diteruskan kalau kakak tidak kuat. Gak usah dipaksa kak."

"Kakak bingung re," masih dengan isakan rana mencoba menguatkan dirinya untuk bercerita. Meski hanya sebagian kecil hal yg membuatnya banyak fikiran akhir-akhir ini.

"Bingung kenapa kak?" tanya rere hati-hati, takut membuat wanita tersebut kembali menangis.

"Kemarin kakak bertemu dengan anak kecil bernama Yura. Dia anak piatu hanya hidup bersama papah dan juga neneknya, tidak pernah melihat dan merasakan kasih sayang ibunya. Dia tiba-tiba memeluk kakak dan menangis tersedu-sedu. Gaktau kenapa kakak jadi terfikir si kembar. Bagaimana jika mereka ada di posisi Yura? Kakak gak kuat liatnya re."

"Tetapi si kembar kan ada kakak, ada rere juga."

"Bukan itu re, kakak takut. Lambat laun, si kembar pasti akan menanyakan siapa dan dimana daddy-nya. Sedangkan kakak belum siap untuk menguak semua luka yg kakak pendam selama ini, re. Terlalu sakit bila kakak kembali mengingatnya," lirih Rana kemudian menunduk, Rere ikut menangis. Ikut merasakan bagaimana belum siapnya sang kakak untuk kembali sakit, tetapi bila tidak seperti itu maka Rana harus mengorbankan si kembar tidak tahu seluk beluk daddy-nya.

Rana tidak mau seperti itu, dia tidak mau egois tapi dia juga belum siap untuk kembali terpuruk seperti dahulu. Apalagi mengingat sang mantan suami. Dia takut bila nanti semuanya di luar ekspektasinya. Dia takut jatuh seperti dulu kembali.

Setelah sekian lama terdiam, Rere memutuskan untuk kembali ke toko kue dan menyuruh Rana untuk beristirahat. Biarlah ia yg menjemput si kembar dan membiarkan ibu dua anak itu tenang dahulu.

"Kakak istirahat dulu, jangan terlalu banyak pikiran. Nanti drop kasian yg lain."

•••

Ale dan Alo duduk di pelataran pos satpam TK dimana mereka bersekolah. Keduanya masih asik berceloteh ria dengan sesekali menatap ke arah jalanan berharap sang Ibu sampai dengan motor seperti biasanya.

Sudah setengah jam berlalu, mereka berdua duduk dengan ditemani pak Parjo, satpam sekolah mereka. Tadi, saat pulang ada salah satu wali murid dari teman mereka, Jingga menawarkan untuk mengantar pulang tapi dengan kompak mereka menggeleng dan berkata takut membuat sang ibu lelah jika harus bolak balik dan tidak menemukan mereka di sekolah.

Suara klakson motor membuat keduanya berdiri dan bersorak ria mendekat. Mereka mengernyit bingung saat Rere yg menjemputnya bukan sang ibu.

"Bocil!" panggil Rere saat sudah membuka helm seraya berdadah ria ke Ale dan Alo. Ale menatapnya heran, sedangkan Alo dia sudah tampak cuek. Menurutnya mau siapapun yg menjemputnya gak masalah yg penting dia bisa sampai rumah dan istirahat karna memang ia sangat lelah.

"Kok tante Rere sih?" seru Ale tak terima, pasalnya kemarin ibu dan anak ini mempunyai janji untuk membeli es krim dulu sebelum pulang. Rere mendengus sebal, "Apaa? Gak suka kalo tante yg jemput? Yaudah gih sana pulang sendiri. Jalan kaki!"

Keduanya menggeleng cepat, tidak mau jalan sendiri apalagi jarak sekolah dan rumah lumayan membuat mereka capek.

"Mommy kalian lagi gak enak badan jadi tante yg jemput. Udah ah ayo, panas ini tante mau bikin squash juga di toko."

Alo segera naik di bagian belakang dibantu dengan pak Parjo, sedangkan Ale masih berdiam diri disana.

"Apa? Mau apaa?"

"Ih. Adek sebel sama tante. Adek sama mommy mau beli es krim tau, ih sebel!" gerutu Ale dengan tampang imutnya, ingin rasanya Rere cakar itu muka Ale jika tidak mengingat statusnya. Perempuan itu menghela nafas, "Yaudah ayo beli sama tante. Mommy kan sakit jadi gak bisa jemput. Udah ayo, pulang gak? Tante tinggal nih!"

Sontak Ale buru-buru naik, membuat gelak tawa Rere membuncah. Pak parjo sudah geleng-geleng melihat tingkahnya anak perempuan berumur lima tahun itu.

Epilalala , 2019

DEAR YOU [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang