28

5.5K 633 28
                                    

Yoongi terus berlari disepanjang koridor Rumah sakit tak memperdulikan banyak pasang mata yang menatapnya heran juga, tidak suka. Suara langkah cepatnya memang terdengar menggema dilorong rumah sakit yang sebenarnya tak sepi sama sekali. Itu cukup mengganggu ketenangan yang seharusnya tercipta disana. Tapi, dia tak perduli. Siapa yang memikirkan hal itu sekarang? Satu-satunya tujuannya hanyalah ruangan VIP bernomor 617. Ruangan yang disebutkan ibunya saat memberitahu jika salah satu adiknya tengah berada diantara hidup dan mati didalam sana.

Yoongi tidak tahu perasaan apa yang harus diungkapkannya sekarang. Semuanya terasa kabur dihatinya. Matanya sudah memerah karena perih, dia berkaca-kaca.

Pagi tadi, Yoongi terbangun dengan pening yang luar biasa dikepalanya. Sekelebat ingatan tentang Jin yang memukulnya semalam tiba-tiba terlintas begitu saja saat nyeri akibat pukulan yang telah meninggalkan lebam dipipinya itu terasa saat dia membuka matanya. Semalam sepertinya dia langsung kembali tak sadarkan diri setelah menerima pukulan itu. Buktinya, dia kembali tertidur dikamar Jin dan bukannya di Rumah sakit seperti yang seharusnya. Semalam, saat dia menghubungi Haneul, ibunya itu memberitahunya jika Baekhyun mengalami kecelakaan. Karena itu, dia memaksa pergi ke Rumah sakit dan berakhir dengan mendapatkan lebam dipipinya.

Jin berlari menyusul Yoongi tepat setelah gebrakan pintu kamar yang terbanting terdengar.

"Kau mau kemana?" cegah pemuda itu. Tangannya mencekal pergelangan tangan kanan Yoongi, menghentikan langkahnya sebelum sempat mendekati pintu keluar.

"A-huh..." Yoongi menghela napas kasar. "Aku harus pergi," ujarnya lalu, menghempas kasar cekalan Jin dilengannya.

Jin menatap Yoongi heran. Yoongi terlihat gelisah. Bahkan, dia bisa menangkap gurat kecemasan dimata sahabatnya itu.

Apa yang terjadi? Apa yang didengar Yoongi saat ditelepon tadi? Kenapa dia terlihat cemas?Ingin rasanya Jin mengutarakan salah satu dari pertanyaan itu.

"Kau masih sakit." Dan akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya saat dia melihat betapa pucat wajah Yoongi. Rasa panas bahkan masih terasa ditelapak tangannya saat dia memegang lengan sahabatnya itu.

"Aku sudah baik-baik saja,"

"Dengan wajah pucat itu kau bilang baik-baik saja?"

Entah kenapa nada bicara Jin tiba-tiba meninggi. Dia hanya selalu sedikit sensitif jika menyangkut kesehatan. Dan, dia paling tidak suka saat ada seseorang berkata baik-baik saja padahal dia bisa melihat yang sebaliknya. Itu mungkin masih pengecualian jika orang lain yang mengatakannya tapi tidak karena, Yoongi adalah sahabatnya. Dia mengkhawatirkan kondisi sahabatnya sendiri yang bahkan sudah dia anggap sebagai saudara, apa itu salah?

Dan, mendengar pernyataan Yoongi yang mengatakan dia 'baik-baik saja' sungguh, membuat Jin marah. Dia merasa tak dihargai disini. Apa salahnya berkata jujur? Bukankah mereka sahabat? Itu pikirnya.

Yoongi memejamkan matanya. Suara Jin terdengar sedikit berdengung ditelinganya, pandangannya mulai berputar, dan Yoongi berusaha menormalkannya kembali dengan cara menggeleng-geleng pelan.

Jin melihatnya. Dia merasa bersalah karena sedikit berteriak didepan Yoongi padahal sahabatnya itu sedang sakit.

"Sudah kukatakan kau masih sakit. Jangan keras kepala dan kembalilah kekamar!" bujuknya dengan suara yang lebih lembut daripada sebelumnya.

Yoongi bergeming. Setelah pandangannya kembali normal, dia menatap Jin. Terlihat sayu dan tidak bertenaga.

"Aku harus pergi,"

BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang