Bab 37 - Baby

1.4K 245 203
                                    

Berbulan-bulan berlalu semenjak pernikahanku dengan Ken, dan soal penelepon itu tidak diketahui siapa yang melakukannya, hanya saja aku berpikir orang itu hanyalah orang jahil yang tidak ada kerjaan.

Aku dan Ken sudah pindah ke sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari rumah Dad, mungkin hanya terpisah beberapa blok. Rumahnya tidak besar, hanya rumah bermodel minimalis yang nyaman untuk ditempati untuk keluarga kecil.

Terkadang sampai saat ini aku masih tidak percaya jika aku akan segera memiliki keluarga kecilku sendiri, dan lepas dari Mom juga Dad. Belum lagi, kepala dalam keluarga kecilku ini adalah orang yang paling menyebalkan yang pernah ada. Tapi jujur, semenjak menikah Ken berbeda denganku. Dia jadi lebih lembut, sabar dan tidak sering marah-marah, walaupun dia masih suka marah tapi tidak se-sering dulu.

Siang ini, aku sedang duduk di sofa ruang tengah sambil membaca sebuah buku dan mengemil buah apel dengan perut yang sudah membuncit. Dokter bilang sekitar satu bulan lagi anak ini akan segera melihat kejamnya dunia.

Ah ya, soal keluarga Zeeo, mereka benar-benar pindah dan memutuskan hubungan dengan kami semua, kecuali Om Zafran yang masih suka berkontak dengan yang lainnya atau denganku. Yap, Om Zafran terkadang meneleponku dan bertanya soal keadaanku dan calon cucunya nanti.

Lalu ken, sekarang dia bekerja mengambil alih hotel atas namaku untuk dijalaninya. Awalnya Ken akan mengurus club lagi, tapi aku melarangnya karena aku tidak mau dia bekerja seperti itu lagi.

Kuliahku berantakan, aku melakukan pengunduran diri dan tidak melanjutkan studiku. Sedangkan profesiku sebagai model masih sering aku jalani, akhir-akhir ini banyak yang menginginkan wanita muda hamil sepertiku untuk dijadikan model. Hanya saja Ken membatasiku dalam pengambilan project, dan lagi aku selalu ditemani Mom dalam acara pemotretan itu. Jika tidak dengan Mom, aku akan diantarkan oleh Tante Kate— eh Mama Kate, hehe dia Mama mertuaku sekarang.

Terdengar suara lenguhan dari sampingku, aku menaruh bukuku lalu mengusap rambutnya. Ken, dia baru tidur beberapa saat karena ada sedikit masalah di hotel dan pulang ke rumah dia langsung memburuku lalu tidur dan mengistirahatkan kepalanya di pahaku.

"Jezz, hmmhh lapar," gumamnya.

"Makanlah, bukannya curhat," balasku sambil melintir rambutnya.

"Bikinin kek," gerutunya.

"Lo nggak liat perut gue gede gini? Males bangunnya ah."

Ken memajukan bibirnya, membuatku menjejali mulutnya dengan sisa potongan buah apel.

"Jezz, ya Tuhan, ayolah." Pintanya sambil mengunyah potongan apel.

"Delivery aja sana." Kataku sambil meyentil keningnya.

Ken bangun lalu meraba perutku, mengusapnya lembut.

"ARRGGHH!"

Disaat bersamaan aku berteriak, sambil menjambak rambut Ken.

"AH JEZZ SAKIT!" teriaknya sambil berusaha melepaskan cengkramanku pada rambutnya. "GUE CUMAN ELUS PERUT LO ANJIR!"

Bukannya aku semena-mena menjambak rambutnya, aku baru saja merasakan kontraksi pada perutku dan ahh aku tidak dapat menggambarkan bagaimana rasanya, mulas sekali. Ditambah aku merasakan seperti pipis di celana, aku menengok ke bagian bawahku dan aku baru menyadari sesuatu, ketubanku baru saja pecah.

"BAYINYA MAU KELUAR!" teriakku makin erat mencengkram rambutnya.

"THE FUCK JEZZ!" erang Ken.

"MULES AHH! SAKIT! AHHH!"

Ken memukul tanganku agar melepaskan jambakanku dari rambutnya, setelah itu dengan cekatan dia melompat dari sofa dan berlari. "TUNGGU ASTAGA GUE BUKA PINTU DULU!"

Never ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang