Chapter 3

9.7K 435 41
                                    

"Mama!" aku memekik girang lalu berlarian memeluk Mama yang menyambut di ambang pintu rumah Daddy bersama Papa, Tante Kayla, serta Om Fero.

"Sweetie," balas Mama memelukku sayang.

"Kangen," rengekku.

"Ya Tuhan, umur kamu udah berapa, Sweetie? Masih aja ngerengek," Mama tersenyum kecil.

"Biarin," kataku tidak peduli dan mengeratkan pelukanku pada Mama.

"Cuma Mama doang yang dipeluk? Papa mana nih?" ujar Papa dari sebelah Mama. Aku terkekeh dan berganti memeluk Papa.

Lalu, setelah melepaskan rindu di ambang pintu, kami semua masuk ke dalam. Termasuk Aaron beserta keluarganya. Aku memeluk lengan Kak Dave sembari berjalan masuk. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bermanja seperti ini kepada Kak Dave. Terakhir kami bertemu adalah ketika memberikan Mama dan Papa surprise di hari anniversary mereka. Sekitar dua tahun yang lalu.

"Tempel terus, Ra," seloroh Kak Nico langsung membuat yang lainnya menggodaku.

"Baru ketemu mah beda, ya. Masih hangat," timpal Kak Ken dengan kerlingan khasnya.

Aku memutar bola mataku bosan. Sambutan yang baik, bukan?

"Udah, kalian nih suka banget godain anak-anak Tante," Mama menghentikan Kak Ken serta Kak Nico, "Kali-kali yang kalem kayak Valdo."

Kak Nico menaikkan sebelah alisnya, tampak tidak setuju dengan ucapan Mama, "Tante Siena yang cantik," jeda Kak Nico membuat Papa langsung berdeham, "Kamu gak tertarik sama Tante-tante kan, Nico? Kamu kan punya Disha yang masih fresh."

Mama segera melirik Papa tajam, "Jadi, maksud Papa, Mama udah keriput kusut gitu? Gak fresh lagi?"

"Ya Tuhan, gak gitu, Ma," Papa terlihat kelabakan ditembak seperti itu. Aku terkikik geli. Oh, Papaku yang malang.

Kak Nico juga terkikik, "Tenang, Om, di hati Nico cuma Disha," Kak Nico mengedip pada Disha, "Dan Tante, apa jadinya kalau Nico sama Ken kalem kayak Valdo? Bisa-bisa kalau kita kumpul, cuma diam-diaman aja, tanpa ada percakapan. Garing, Tan, gak asik. Orang-orang kayak Dave sama Valdo itu butuh orang kayak Nico dan Ken biar hidupnya berwarna, gak monoton."

"Nico benar tuh, Tan," Kak Ken menyahut, "Ken sama Nico itu menghidupkan suasana, Tan. Tanpa kita berdua, gak bakal seru," katanya penuh percaya diri.

"Tapi, bisa kan gak usah terlalu over? Kayak Kak Kevin tuh bisa imbang. Kadang diam, kadang juga pecicilan," Lena menunjuk Kak Kevin yang kini melepaskan sunglassesnya.

"Astaga, My Lena, tega banget sama aku," ujar Kak Ken dengan gaya berlebihannya.

Astaga.. Bagaimana bisa dia memenangkan kasusnya di pengadilan saat masih bertingkah berlebihan seperti ini? Aku tidak ingin mempercayai Kak Ken sebagai kuasa hukumku, Kak Ken mungkin bisa serius ketika kliennya orang yang tidak terlalu dikenalnya. Tapi bagaimana jika aku kliennya? Apa Kak Ken justru akan mengajak bercanda hakim dan jaksa di pengadilan?

Tanpa sadar, aku bergidik sambil tersenyum geli membayangkan Kak Ken mengajak hakim dan jaksa bercanda di ruang pengadilan.

"Kamu kenapa?" tegur Kak Dave yang melihatku senyum-senyum sendiri, "Kamu masih waras kan, Sayang?"

Aku memukul lengan Kak Dave, "Aku waras seratus persen," gerutuku.

"Terus kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Kak Dave menggiringku ke meja bar yang terletak di area dapur.

"Aku bayangin aja kalau Kak Ken di ruang pengadilan masih suka berlebihan dan cengengesan gitu. Apalagi kalau aku yang jadi kliennya. Oh My God! Aku gak bisa bayanginnya," aku menggelengkan kepalaku.

Relation of Daveera [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang