Chapter 40

6.5K 364 47
                                    

Aku mengusap perutku yang sudah mulai buncit di usia kehamilan duapuluh empat minggu. Merasakan tendangan-tendangan halus yang sudah mulai kurasakan sejak lima minggu lalu, tepatnya saat usia kandunganku masih sembilan belas minggu.

Saat itu, sudah pukul delapan malam. Aku duduk di atas ranjang sambil menunggu Kak Dave yang sedang mandi, karena baru saja pulang kerja. Aku mengelus perutku sambil mengajak bayiku berbicara sesekali.

Tidak lama kemudian, Kak Dave sudah keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Hal itu mengundang decak kesal dariku. Suamiku itu begitu susah diberitahu untuk jangan keramas saat malam hari.

Menyadari tatapan tajam yang kuberikan, Kak Dave menyengir dan memakai pakaian yang sudah kusiapkan. Setelah selesai, Kak Dave naik ke atas ranjang dan mengambil posisi telungkup dengan kepala yang berada di pangkuanku.

“Tolong bantu handukin, ya, Sayang,” pintanya dengan lembut.

Aku mendengus, tapi tanganku bergerak meraih handuk kecil di kepalanya dan membantu mengeringkan rambut suamiku dengan handuk.

“Hari ini kamu gak kerja yang berat-berat kan, Sayang?” tanya Kak Dave seraya bersandar pelan pada perutku.

“Mau kerja apa? Kerjaan Sheera cuma mandi, nonton tv, makan, minum susu, tidur, nyemil, makan lagi, minum susu lagi, nonton tv lagi, begitu terus. Mentok-mentok cuma pergi ke taman komplek.”

Kak Dave terkekeh kecil, “Kan demi kesehatan kamu dan dedek juga, Sayang. Iya kan, dek?” Kak Dave menggesekkan kepalanya pelan pada perutku setelah meminta persetujuan baby.

Dug!

Seketika tanganku berhenti bergerak. Aku menegang, begitupun dengan Kak Dave yang langsung tersentak hingga terduduk. Matanya melotot memandang perutku, bibirnya terbuka.

“I...itu tadi de...deknya nendang, ya?” bisiknya antara takjub dan tidak percaya.

Aku tertegun, “Sheera rasa iya,” entah sejak kapan tanganku sudah berada di atas perut dan mengelusnya, “Dedek tadi nendang Bunda, ya?” aku berharap sekali mendapat tendangan lagi dari bayi kami. Tapi sepertinya tadi hanyalah halusinasiku dan Kak Dave, karena sampai sekarang tidak ada balasan dari bayi kami. Aku dan Kak Dave memasang wajah kecewa, sebelum akhirnya....

Dug!

“Woah,” aku dan Kak Dave spontan berdecak kagum ketika merasakan bayi kami menendang dengan tendangan yang lebih terasa dibandingkan tendangan pertamanya. Bahkan hingga beberapa kali aku masih dapat merasakan tendangannya hingga membuatku tak kuasa menahan haru.

“Hksss.. Kakak, dedeknya udah bisa nendang. Dia sehat, Kak,” aku berbisik lirih.

Kak Dave memelukku dengan sebelah lengannya, sedangkan tangannya yang satu lagi masih sibuk mengusap perutku, berusaha untuk merasakan tendangan dari bayi kami lagi.

“Iya, dedeknya udah mulai pintar,” entah kebetulan atau tidak, setelah pujian itu terlontar dari bibir Kak Dave, bayi kami kembali menendang membuatku dan Kak Dave tertawa, “Tuh, dedek makin pintar, dipuji langsung ada responnya. Makanya Bundanya juga harus pintar, jangan suka ngeyel dan marah-marah kalau disuruh istirahat.”

“Ihh, kata siapa Sheera suka ngeyel sama marah-marah? Sheera tuh gak pernah marah. Kakak jangan jelek-jelekin Sheera di depan dedek dong,” ujarku tak terima.

“Dek, itu tadi Bunda ngapain, ya, kalau bukan marah-marah?” Kak Dave berbisik pada bayi kami.

“Ayah kamu tuh, dek, yang mancing Bunda marah. Pokoknya dedek jangan ikut ngeselin kayak Ayah, ya?”

Relation of Daveera [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang