Aku menimang-nimang Viero yang terus rewel sejak pagi tadi. Entah kenapa hari ini Viero lebih cengeng dibanding biasanya. Aku sampai kewalahan menanganinya.
"Dek, diam dong. Udah malam, Viero harus bobo, ya," kataku dengan suara lembut.
Tapi Viero tetap merengek, bahkan kali ini semakin kencang saja rengekannya.
"Dek, nanti kamu capek loh nangis terus. Diam, ya, Sayang," aku mengusap dahi Viero lembut, mencoba peruntungan agar Viero terlelap.
"HUUUAAAA..."
Wajah Viero memerah karena sudah kebanyakan menangis. Aku menjadi tidak tega melihatnya. Aku meletakkan putraku di dalam box bayinya, sedangkan aku beringsut ke sofa yang ada di sudut kamar. Aku menatap nanar Viero yang masih menangis. Tanpa terasa airmataku ikut mengalir.
"Hkkkss... Viero kenapa nangis terus sih? Vi—Viero gak suka sama Bun..hkss..nda? Hkkss.. Bunda capek.. Viero seharian ini rewel terus," aku berkeluh kesah. Aku menekuk kakiku dan menenggelamkan wajahku di lutut. Tangisanku beradu dengan tangisan Viero. Aku bukan ibu yang baik. Aku seorang ibu yang tidak bisa merawat anaknya, ibu yang tidak bisa meredakan tangis anaknya. Aku bukan seorang ibu yang baik. Viero akan membenciku.
Tapi aku juga lelah. Aku butuh istirahat. Aku butuh tidur. Tidak ada yang memahamiku. Tidak seorangpun. Kak Dave terus menerus lembur di kantor tanpa memberikan perhatian kepadaku lagi. Para sahabat juga sibuk dengan kerjaan mereka. Mama keluar kota bersama Papa sejak satu minggu yang lalu. Mommy menjenguk Nenek dan Kakek di Korea. Daddy harus mengurus hotel.
Lalu aku terjebak di dalam rumah sendirian. Bersama Viero yang tidak mengerti apa-apa selain menangis, tidur, menyusu, dan buang air. Aku bosan. Aku lelah.
"Sheera, itu kenapa Viero sampai nangis kencang banget?"
Aku mendengarnya. Suara Kak Dave yang terdengar panik dan tergesa. Setelah itu aku mendengar gemericik air dari kamar mandi, sebelum kembali mendengar derap langkah Kak Dave yang menghampiri box Viero.
"Uuhh, anak Ayah kenapa nangis?" kembali, aku mendengar perhatian Kak Dave tertuju untuk putra kami, "She, kenapa kamu biarin Viero nangis sampai kayak gini? Kasihan, sampai capek gini loh dia."
Aku mendongak dan menatap Kak Dave, "Sheera udah usaha daritadi! Tapi Viero gak mau diam," aku terisak, "Sheera juga capek! Kakak gak kasihan sama Sheera?!"
Kak Dave terlihat kaget. Suamiku itu melangkah menghampiriku dengan Viero berada di gendongannya, "Kamu kenapa nangis? Aku kan gak marahin kamu."
"Kakak gak marahin Sheera, tapi Kakak nuduh Sheera! Kayak dulu Kakak nuduh Sheera fitnah Kak Sofie! Kakak tuh emang gak pernah percaya sama Sheera, ya!"
"Loh? Kenapa jadi ke masalah Sofie dulu? Aku tanya kamu baik-baik loh, She. Jangan mancing keributan, aku capek baru pulang."
"Siapa yang mancing keributan?" aku bertanya ketus, "Capek? Sheera juga capek, Kak. Sheera capek berhari-hari ngurus anak sendiri. Kakak gak bantuin Sheera sama sekali, Kakak lebih milih lembur sampai tengah malam. Padahal Sheera lembur waktu itu, Kakak marah banget sampai diamin Sheera! Kakak gak adil hkss...."
"Aku marah kamu lembur itu karena bukan kewajiban kamu untuk cari nafkah sampai kerja keras begitu, She. Aku yang kepala keluarga, aku yang harus kerja keras."
"Ah, terserah Kakak! Di mata Kakak, Sheera emang selalu salah," aku mengakhiri perdebatan dan memilih keluar meninggalkan kamar.
"Asheera, ini Viero haus. Kasih susu!"
"Ihh. Viero, Viero terus! Kapan Sheera punya waktu buat diri Sheera sendiri? Sheera capek, Kakak. Sheera mau istirahat. Sheera pusing dengar Viero nangis terus," setelah itu aku menutup pintu kamar dan berjalan keluar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Relation of Daveera [Completed]
General FictionHubunganku dengannya bukan lagi sebuah hubungan antara kakak dengan adiknya. Bukan hanya sebuah hubungan persahabatan. Bukan juga saudara sekandung. Hubunganku dengannya yang sekarang adalah sebuah hubungan yang menentukan masa depan kami nantinya...