OKTOBER 1947
Sang surya masih berselimut kabut tebal, kala para buruh memetik helai demi helai daun tembakau. Tak ada gurauan, hanya keheningan. Tak ada yang berani memecah kesunyian, ketika seseorang berkulit putih dengan dua orang pribumi---yang berada di sampingnya---sedang mengawasi kerja para buruh.
“Lambat! Jika kerja kalian seperti ini, rugi saya bayar kalian.” Sebuah bentakan memecah kesunyian fajar. Tak lama kemudian, suara berdebum disertai erangan kesakitan membuat para buruh berduyun-duyun menghampiri asal suara itu.
“Heh! Untuk apa kalian berkumpul di sini?” bentak salah seorang pribumi yang berada di sisi kanan pria berkulit putih. “Oh ... kalian ingin dihajar juga seperti babu ini ya?” Pribumi itu menunjuk seorang pria yang tersungkur di antara tembakau. Tak ada seorang pun yang berani menolong pria itu. Buruh-buruh itu hanya bisa menatap iba pada kawannya yang baru saja dianiaya.
"Luisteren (dengarkan)! Waktu kalian hanya seminggu untuk memanen tabak[1]. Jika telat, kalian akan terima risikonya," ancam orang kulit putih itu. Dia adalah pimpinan mandor di perkebunan tembakau ini.
"Kau," tunjuk mandor itu kepada salah satu pekerja di hadapannya, "seluruh pekerja di sini adalah tanggung jawabmu. Jika ada yang salah, maka kau yang akan kutembak."
"Ba-baik, Meneer," sahut pria paruh baya berkumis itu sembari menunduk.
"Siapa namamu?"
"Saya Sarip, Meneer."
“Sepertinya ... aku pernah melihatmu.”
“Sa-saya ha-hanya buruh di sini, Meneer,” ucap pria yang bernama Sarip itu dengan terbata-bata.
"Kuperingatkan kau, jangan main-main dengan tugasmu atau peluru ini akan cepat bersarang di kepalamu." Orang kulit putih itu tak segan-segan menodongkan pistolnya di pelipis Sarip sebagai ancamannya.
“Ini juga berlaku untuk siapa saja yang melanggar---terutama para pemberontak.” Mandor itu pun mengedarkan pandang satu per satu kepada para buruh. Kemudian ia pun beranjak pergi setelah memberikan tatapan garang itu. Sedangkan dua pribumi yang bersamanya, segera menggiring para buruh untuk kembali bekerja.
Sarip bukan satu-satunya yang mengeluh dengan pekerjaan ini. Banyak buruh tembakau lain yang ingin memberontak, tapi apa daya, mereka hanya pribumi biasa yang takut akan senjata orang kulit putih.
Mereka hanya bisa pasrah menerima kenyataan, bahwa kemerdekaan yang telah digaungkan dua tahun lalu, telah direnggut kembali oleh bangsa Belanda sejak Agresi Militer beberapa bulan lalu.
“Kau tak apa-apa? Jika kondisimu masih sakit, lebih baik istirahat dulu,” ujar Sarip pada pria berambut cepak yang tadi dihajar oleh mandor mereka.
“Masih terasa nyeri di ulu hati, Mas Sarip.”
“Duduklah dulu. Jangan memaksakan diri, Sidin. Dua pribumi pengkhianat itu sudah pergi mengikuti majikannya.”
“Tak usah Mas, saya masih sanggup bekerja. Kasihan sampean nanti kalau kena hukuman hanya karena saya,” ucap Sidin yang masih memegangi perut bagian atasnya.
“Baiklah, terserah kau saja. Tapi jangan jauh-jauh dariku. Kau bisa memanen di sebelah sini denganku.” Sidin mengangguk setuju. Mereka pun berdampingan memetik helai-helai tembakau.
Embusan angin pagi, menyapa rambut ikal Sarip yang sebahu, sudah lama ia membiarkan rambutnya memanjang tak beraturan. Seumur hidupnya, baru kali ini Sarip memiliki rambut gondrong hanya demi penyamarannya. Lahan tembakau kembali senyap. Hanya cericit burung saja yang meramaikan pagi yang mulai bermandikan mentari.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...