Menjelang senja, kerumunan buruh telah berkumpul di pintu gerbang pabrik. Menunggu untuk pulang. Sarip yang telah menuntun sepeda ontelnya, ikut berdesakan bersama para buruh lain.
Begitu gerbang dibuka, mereka berhamburan layaknya lebah yang terusir dari sarangnya. Sarip pun segera mengayuh ontelnya ke utara pabrik. Gubuknya berada cukup jauh dari lokasi pabrik tempatnya bekerja. Tak banyak kawan sesama buruh yang searah dengan Sarip.
Turunan curam dan tanjakan tajam harus ia lewati untuk sampai di gubuknya. Belum lagi kawasan hutan yang menjadi batas antara desanya dengan desa tempat ia bekerja.
Meski saat ini raga Sarip sedang bersepeda, tapi jiwanya melanglang buana, memikirkan semua perkataan sopir truk tadi siang. Ia tak ingin melihat kawan-kawan seperjuangannya tertangkap atau bahkan tewas dalam penyergapan yang tak terduga itu. Seperti insiden yang terjadi di Tapen dua hari lalu. Tak ada satu pun pejuang yang selamat.
Namun mustahil Sarip menyampaikan informasi itu. Jarak dan waktu yang tak memungkinkan untuk ia tempuh, membuat Sarip merasa gagal menjadi informan. Memang sejak sebulan terakhir, Sarip memutuskan untuk muncul dari persembunyiannya.
Sejak kekalahan batalion IX dalam agresi militer Juli lalu, Sarip memutuskan untuk bersembunyi di hutan bersama pejuang yang selamat. Berpindah-pindah mencari tempat aman dan menyusun strategi penyerangan gerilya.
Karena persediaan senjata dan makanan yang semakin menipis, Sarip dan kawan-kawannya memutuskan untuk menyamar menjadi rakyat jelata. Mengumpulkan segala hal yang bermanfaat untuk menyerang penjajah. Termasuk merekrut rakyat yang mau berjuang bersamanya. Mengusir penjajah yang telah semena-mena menguasai kota Bondowoso.
Walaupun Sarip hanya berpangkat Kopral, tetapi ia memiliki pengaruh yang kuat di antara kawan-kawannya sesama pejuang. Keberaniannya cukup membuat ia menjadi salah satu daftar orang-orang yang dicari oleh pihak Belanda.
Dan kini, sepertinya beberapa orang mulai mencurigainya. Sarip tahu meskipun ia mengubah identitasnya, bahkan membuat wajahnya tak dapat dikenali---kecuali anak buahnya---lambat laun pasukan musuh akan mencium keberadaannya.
***
Tempat tinggal Sarip memanglah hanya sebuah gubuk kecil. Agak jauh dari pemukiman penduduk di desa Klabang. Gubuk itu berada di antara kebun pisang milik warga sekitar. Tak ada siapa pun yang menghuninya selain Sarip. Ya, dia hanya sebatang kara.
Sudah masuk waktu magrib, ketika Sarip sampai di depan gubuknya. Ia merasa ada sesosok bayangan yang sedang mengawasi dari balik rumahnya. Seketika perasaan waswas menyergapnya. Sebuah pikiran buruk pun terlintas.
Apakah mereka sudah tahu tempat tinggalku? pikir Sarip.
Ia segera menyandarkan sepedanya di pohon pisang depan rumahnya. Dengan perlahan, ia berjingkat menuju bagian belakang rumahnya. Ia pun memasang kuda-kuda, berharap ia siap jika sesuatu buruk terjadi. Namun, saat Sarip ingin mengintip, mendadak sebuah sentuhan terasa di pundaknya.
"Whoaa ...!" Sarip yang begitu kaget, langsung saja berbalik dan pasang kuda-kuda.
"Wow ... refleks yang bagus Kopral Dayat," puji seseorang yang ada di depan Sarip.
"Said? Jadi itu tadi kau?"
"Siap! Selamat petang Kopral!"
"Jangan pernah panggil aku dengan nama itu. Anggap saja nama itu sudah mati. Panggil saja Sarip."
“Penyamaran Anda sempurna, Kopral. Bahkan saya hampir tak mengenali Anda. Jika saya tak mengantongi ciri-ciri terbaru Anda.”
Sarip hanya menyunggingkan senyum dan berkata, "Ada apa gerangan kau kemari? Oh maaf, mari kita bicarakan ini di dalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...