Selesai salat subuh, Rahardjo beserta Lastri telah berjanji pada Sameera bahwa mereka akan mengantarkannya pulang. Sameera sudah lama menginap di rumah Rahardjo, sejak ia minggat dari rumahnya. Namun entah mengapa hari ini Sameera berkeinginan kuat untuk pulang.
"Kamu yakin kami tak perlu ikut menemui bapakmu?" tanya sahabatnya itu.
"Iya, Lastri. Cukup sampai depan gang saja." Sameera berujar sembari membereskan tempat tidur yang ia tempati.
"Apa bapakmu tak curiga?" tanya Rahardjo yang tiba-tiba saja muncul di pintu kamar Sameera.
"Curiga dengan siapa, Mas? Selama ini, bapak hanya curiga dengan Mas Sarip," ucap Sameera dengan tertunduk lesu, "sekarang Mas Sarip sudah tertangkap."
"Sabar ya, Mirah. Kalau memang kalian berjodoh pasti Tuhan akan berikan kalian jalan terbaik." Istri Rahardjo itu masih berusaha menghibur hati Sameera, meski Sameera tahu bahwa kecil kemungkinan itu terjadi.
Sebenarnya Sameera masih kalut akan kenyataan yang menimpanya. Pujaan hatinya tertangkap, dan semua itu karena ulah bapaknya. Namun sebuah perasaan yang tidak mengenakkan menghantuinya beberapa hari ini. Meskipun Sameera begitu membenci bapaknya, tapi ia begitu khawatir dengan nasib ibunya.
"Jadi ... kau mau berangkat menunggu fajar tiba?" tanya Rahardjo.
"Sekarang saja Mas. Aku ingin sampai sebelum bapak pulang. Biasanya bapak pulang saat fajar." Sameera pun bergegas keluar kamar.
"Baiklah. Ayo!" Mereka bertiga pun bersama keluar rumah lewat pintu samping. Rahardjo mengambil sepeda ontelnya dan segera membonceng istrinya. Begitu pula Sameera yang segera mengayuh ontelnya.
Mereka harus menempuh jarak sekitar 10 kilometer untuk sampai ke rumah Sameera. Di pagi buta itu, mereka mengayuh tanpa suara. Sameera begitu menggebu untuk segera sampai.
Ya Tuhan, sebenarnya ada apa ini? Mengapa firasatku mengatakan ada sesuatu yang sangat buruk akan terjadi? Ibu atau ... Mas Sarip?
Tiba-tiba Sameera mengerem mendadak di tikungan jalan sebelum melewati wilayah stasiun. Dari tempatnya berdiri, dilihatnya banyak pasukan kulit putih yang bersenjata lengkap sedang berjajar di pintu masuk stasiun. Pemandangan yang begitu tak wajar karena hari masih begitu dini untuk melakukan sebuah pengawalan.
"Kenapa berhenti mendadak?" Rahardjo yang baru saja sampai di belakang Sameera bertanya dengan penuh penasaran.
"Itu ... di depan sana, Mas. Stasiun itu—"
"Kenapa banyak pasukan Belanda di sana?" sela istri Rahardjo.
"Di pagi buta? Tak biasanya mereka bertugas pada jam seperti ini." Rahardjo menimpali pernyataan istrinya.
Sameera masih menatap ke arah stasiun, ia merasa ada sesuatu yang membuatnya sedih. Tempat itu ... ia masih ingat bahwa di stasiun itulah kali pertama ia bertemu Sarip. Mengobati luka pertempurannya. Andai saja dapat terulang kembali kisah yang lalu ....
"Permisi Pak," sapa Rahardjo pada seseorang yang kebetulan berpapasan dengan mereka. "Ada apa di sana Pak?"
"Katanya ada pemindahan tahanan ke Surabaya," jawab pria paruh baya yang membawa bakul berisi sayuran itu.
"Pemindahan tahanan? Kenapa Pak?" tanya Sameera penasaran.
Pria itu hanya menggelengkan kepala lalu berujar lirih, "Desas-desusnya yang dipindahkan itu para gerilyawan yang tertangkap. Saran saya, lebih baik kalian ambil jalan memutar saja dari pada kena bedil. Permisi."
Pria itu pun segera berlalu. Berjalan tergesa-gesa dan menghilang di tikungan. Pikiran Sameera mendadak dihantui ucapan orang tadi. Jika memang benar para gerilyawan yang tertangkap akan dipindahkan ... berarti Sarip pun menjadi salah satu dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...