BAB 4 : KENANGAN

1.5K 166 33
                                    

Desa tempat Anwar tidaklah jauh dari tempat tinggal Sarip, hanya sekitar setengah jam berjalan kaki. Sesampainya di gubuk, rasa penat menjalar ke seluruh urat Sarip. Segera saja ia membasuh mukanya untuk menyegarkan kembali tubuhnya. Namun, rasa penatnya tak lantas menghilang begitu saja.

Tikar yang tergelar di tanah, seolah mengajaknya untuk bergumul menuju mimpi. Sayang beribu sayang, ketika Sarip membaringkan tubuhnya di atas tikar, matanya justru enggan terpejam. Sarip menatap nanar ke langit-langit rumahnya. Mendadak, sebuah bayangan terlintas di benaknya. Kenangan yang membayanginya beberapa bulan ini.

***

Kala itu, agresi telah meletus. Sarip yang bertugas untuk menjaga wilayah kota, melakukan patroli bersama pejuang lain. Sekitar jam sepuluh pagi, mereka mendengar deru kendaraan berat dari kejauhan. Tak hanya itu, suara bedil pun mulai meletus di mana-mana. Pertanda bahwa musuh telah tiba.

Dengan sigap, Sarip bergabung dengan kelompoknya sesuai strategi yang telah direncanakan sebelumnya. Ia dan kawan-kawannya telah menyebar ranjau jebakan di jalan-jalan yang diperkirakan akan dilewati musuh. Lalu bersembunyi di antara bangunan tepi jalan-dalam radius tembak-menunggu musuh yang akan datang.

Tepat ketika sepasukan musuh berjalan melenggang ke arah jebakan ranjau, seketika ledakan demi ledakan memorak-porandakan mereka. Namun musuh tidak berhenti sampai di situ. Di belakang pasukan musuh yang berjalan, ternyata masih ada lusinan serdadu yang menaiki tiga truk sambil menembak acak ke sekitar jalanan. Tembakan demi tembakan, dilancarkan pejuang pribumi-termasuk Sarip-dari tempat tersembunyi. Puluhan granat pun telah dilempar untuk menghambat laju pergerakan truk.

Naas, peruntungan tidak berpihak pada pejuang Bondowoso. Musuh yang memiliki persenjataan lengkap, melenggang maju tanpa beban. Seolah para pejuang hanyalah sekumpulan semut yang tak berdaya. Di belakang truk, majulah kendaraan lapis baja yang menembakkan bola meriam. Menghancurkan segala yang menghalangi mereka. Tak cukup sampai di situ, hujan peluru pun mengguyur wilayah kota. Pesawat tempur milik Belanda berhasil membuat seluruh pejuang kocar-kacir mencari persembunyian.

Perlawanan yang tak seimbang ini, membuat banyak korban berjatuhan di pihak pribumi. Tak sedikit pula yang terluka, termasuk Sarip. Di lutut kirinya kini telah bersarang peluru serta serpihan-serpihan granat. Darah segar merembes di celananya. Dengan tertatih, ia mencari tempat persembunyian. Dan stasiunlah pilihan terdekatnya.

Begitu Sarip memasuki stasiun, ia mendapati banyak pejuang yang telah terkapar di sana. Hingga lantai stasiun seolah sewarna darah. Sarip yang sudah tak kuat lagi menahan nyeri di lututnya, akhirnya terjatuh di sebelah pintu masuk stasiun.

Sambil bersandar, Sarip melipat celananya yang basah oleh darah. Ia pun merobek bagian baju yang tak terpercik darah untuk membalut lukanya. Tepat saat Sarip akan mengikat lututnya, sebuah sentuhan terasa di pundaknya.

"Bolehkah saya merawat luka Anda?"

Seorang wanita dengan wajah manis khas Indonesia timur, sedang berlutut di samping Sarip menawarkan pertolongannya. Sarip yang sebelumnya tak menyadari keberadaan wanita itu, hanya mampu tertegun dan mengangguk perlahan.

"Bisakah Anda berdiri? Biar kuobati di dalam saja. Banyak pejuang seperti Anda di dalam sana," ujar wanita itu. "Mari kubantu Anda berdiri." Wanita itu mengulurkan lengannya dan berusaha keras membopong Sarip memasuki stasiun.

Sesampainya di dalam, Sarip disandarkan dengan perlahan di dinding yang sejajar dengan pintu masuk. Wanita itu pun mengeluarkan seperangkat peralatan dari kotak putih yang ia bawa. Dengan lembut, ia membersihkan luka Sarip.

Sarip tak mampu mengalihkan pandangannya dari wanita hitam manis, yang kini ada di hadapannya. Rambut keriting panjangnya yang dibiarkan tergerai, tertiup semilir angin. Membawa semerbak harum yang begitu asing di indra penghidu Sarip.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang