Suara azan subuh sayup-sayup mulai berkumandang. Langkah kaki Sarip perlahan mulai gontai. Sudah beberapa kali ia terjatuh. Namun, ia masih tak menyerah untuk membawa Anwar ke tempat yang aman.
“M-mas Sa-sarip ... ja-jangan memaksakan diri. Ti-tinggalkan saja a-aku ....”
“Tenanglah Anwar. Jangan pernah berkata seperti itu lagi. Aku akan membawamu ke tempat yang aman.”
Bukan hanya Sarip, beberapa pejuang lain yang sedang membopong temannya yang terluka juga tampak kelelahan. Mereka semua sudah berjalan cukup jauh dari zona peperangan. Tak mungkin pasukan Belanda mengikuti mereka masuk terlalu jauh dari hutan."Kita istirahat di sini saja. Rasanya tak mungkin membawa mereka yang terluka ke Krocok," ucap Kapten Untung yang terengah-engah memecah keheningan.
"Siap, Kapten!" sahut beberapa pejuang hampir berbarengan dengan nada lemas.
Mereka pun akhirnya dapat istirahat sejenak setelah melewati pertempuran yang tak terduga. Sarip yang sejak tadi sudah merasa kelelahan, langsung jatuh berlutut di dekat sebuah pohon yang cukup besar. Pelan-pelan ia menurunkan tubuh Anwar yang masih terus-menerus mengerang dalam kesakitannya.
Tak ada peralatan medis yang dapat membantu mengobati luka para pejuang. Beberapa dari mereka yang terluka, hanya dibebat dengan kain sarung yang digunakan oleh pejuang untuk menutupi wajah mereka dalam pertempuran tadi.
"Said, bisakah kau meminta bantuan medis di kota? Kulihat, kau yang tergesit dan yang masih berstamina di sini," ujar Kapten Untung.
"Baik, Kapten. Tapi usahakan tetap bertahan di tempat ini sampai saya kembali membawa pertolongan," sahut Said.
"Ya, akan kuusahakan. Asal tak ada serangan mendadak di tempat ini," ucap Kapten Untung.
"Saya berangkat sekarang, Kapten."
Said pun segera melenggang pergi untuk meminta bantuan medis kepada relawan PMI yang selalu siap sedia menolong para gerilyawan.
Sarip merasa sedikit lega karena Said ada di kubunya. Jika tak ada Said, mungkin tak ada yang bisa lagi diandalkan untuk mencari bala bantuan medis. Sarip berharap Said segera kembali dengan membawa keberuntungan. Ia tak tega mendengar rintih kesakitan kawan-kawannya saat ini."Mas, sampean istirahat saja. Tak perlu menjagaku," ucap Anwar sambil meringis kesakitan.
"Bagaimana aku bisa istirahat jika kau masih merintih seperti itu?" sahut Sarip dengan nada cemas. "Sebenarnya apa yang ada dalam pikiranmu, Cong? Kau harusnya tak perlu melindungiku."
"Mas, mana mungkin aku membiarkan sampean terluka? Kami masih butuh sampean untuk memimpin perjuangan kami," ujar Anwar lirih.
"Dengar, kau masih punya keluarga yang peduli denganmu. Sedangkan aku, hanya sebatang kara. Bahkan jika aku mati, tak ada seorang pun yang akan peduli denganku." Sarip menatap nanar ke arah langit yang masih kelam. Ia tahu benar bahwa hidupnya saat ini hanya bertujuan untuk memerdekakan negerinya.
“Mas Sarip masih punya kami. Kami adalah keluarga Mas Sarip.”
“Cukup, Anwar! Simpan tenagamu. Kau butuh istirahat. Aku akan melihat kondisi yang lainnya.”
Sarip menyandarkan tubuh Anwar di pokok pohon yang cukup besar. Kemudian ia berjalan menghampiri kawan-kawannya yang terluka. Nasib mereka tak jauh berbeda dengan kondisi Anwar.
Ya Allah, apa yang sudah kuperbuat. Mereka semua begini karena kesalahanku, sesal Sarip dalam hati.
“Jebakan mereka cukup mengguncangkan kita,” gumam seseorang yang menepuk pundak Sarip dari belakang.
Serta merta Sarip menoleh ke arah suara itu dan berkata penuh penyesalan, “Maafkan saya, Kapten. Ini semua salah saya. Andai saya tidak gegabah, mungkin tak banyak korban jiwa dari pihak kita.”
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...