BAB 16 : BUKIT

507 54 2
                                    

Lagi-lagi Sameera menghabiskan waktunya di posko. Entah nanti risiko apa yang akan ia dapat dari bapaknya, ia harus siap menerimanya. Sameera masih tak habis pikir dengan segala penglihatannya kemarin. Bagaimana jika memang benar itu bapaknya?

Di pojok ruangan, gadis berambut keriting yang terurai sepunggung itu, menikmati segelas teh yang telah hilang kehangatannya. Di situ hanya ada Anwar dan ibunya yang masih terlelap. Pagi ini terasa lebih dingin daripada hari-hari biasanya. Kabut tebal masih menyelimuti subuh yang belum bermentari. Pegunungan yang selalu menghiasi cakrawala pun masih belum tampak. Sameera yang sejak semalam merasakan kegalauan, akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di luar.

Di belakang posko, terdapat jalanan menanjak menuju ke sebuah bukit yang tak terlalu tinggi. Namun cukup dapat melihat wilayah sekitar. Ke sanalah tujuan Sameera. Sudah lama ia tak menikmati suasana subuh berkabut seperti ini. Ia lebih suka menikmati kesendirian di saat hatinya sedang kacau.

Ketika Sameera akan melintasi jalan setapak menuju bukit, samar-samar ia melihat seseorang dari arah utara berjalan menembus kabut.
Siapa pagi-pagi buta begini datang kemari? Mungkinkah itu Bapak?
Sameera masih memperhatikan langkah kaki orang itu. Bukan seorang, melainkan dua orang menyeruak kabut di depan Sameera.

“Sally?” tanya orang asing itu.

Sameera tampak kebingungan dengan orang yang menyapanya. Orang itu menutupi mukanya dengan kain sarung. Namun ia sangat kenal dengan suara itu. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu.

“Mas Sarip?” Sameera bertanya balik untuk membuktikannya. Benar saja, orang itu membuka penutup wajahnya lalu menyunggingkan senyum yang selalu membuat Sameera terpesona.

“Mau ke mana kau di pagi buta seperti ini?” tanya Sarip.

“Aku ... aku hanya ingin menyegarkan pikiranku. Ehm ... hanya jalan-jalan saja. Mas Sarip hendak ke mana? Dan ini ....”

“Oh, ini Mas Nurdin. Dia sudah seperti masku sendiri.” Sarip pun mengenalkan Sameera kepada Nurdin. Namun anehnya, wajah Nurdin seperti tak asing lagi bagi Sameera.

“Mas Nurdin, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Sameera penasaran.

“Ah, mungkin wajah saya terlalu pasaran, Mbak,” jawab Nurdin lugas.
Sameera tersenyum menanggapi perkataan Nurdin.

“Kami kemari ingin melihat Anwar. Bagaimana kondisinya saat ini?” timpal Sarip.

“Dia sudah sadar. Tapi kondisinya masih lemah. Dia masih butuh perawatan lebih lanjut. Kalau Mas Sarip mau menjenguk, anak itu masih tidur bersama ibunya,” jelas Sameera.

Le, aku arep nemoni konco lawasku, Rahardjo. Kowe nang kene sek yo. Kancanono cah kuwi. Gak apik cah wadon isuk-isuk mlaku dewean. (Nak, aku akan menemui teman lamaku, Rahardjo. Kau di sini saja. Temanilah anak itu. Tak baik anak perempuan jalan sendirian di pagi buta.)”

Sameera pun melihat Nurdin melenggang pergi setelah mengatakan hal itu pada Sarip. Seolah lelaki berpeci itu sengaja membiarkan Sameera dan Sarip berdua saja.
Tinggallah Sameera dan Sarip di tempat itu dengan berselimut kabut. Rasa gugup melanda Sameera. Ia bingung harus mengatakan apa saat berhadapan dengan Sarip. Lidahnya serasa kelu. Bibirnya bergetar tak menentu.

“Kau mau ke mana sebenarnya?” tanya Sarip yang membuyarkan lamunan Sameera.

“Aku ... oh iya, Mas Sarip tadi ingin menjenguk Anwar, bukan? Mari saya antar.”

“Tak usah mengalihkan pembicaraan, Sally. Kau terlihat kacau pagi ini. Lagi pula, katamu Anwar masih tidur? Aku tak mungkin membangunkannya.”

“Begitu kacaukah aku?” Sameera menundukkan kepala sembari memainkan rok hitam panjangnya. Ia sadar, mungkin penampilannya sangat berantakkan. Sejak kemarin siang, ia tak lagi memperhatikan betapa lusuhnya dirinya.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang