Menjelang senja, mobil kami memasuki halaman rumah. Akhirnya, kembali ke rumah dengan segudang kegiatan yang menjemukan. Lontang-lantung bak tunakarya.
Sejak lulus SMA dan tidak diterima di seleksi perguruan tinggi, aku tak punya pekerjaan tetap. Mungkin hanya wara-wiri mengikuti bimbingan belajar yang katanya oke.
Jujur saja, tuntutan orangtuaku membuat otakku miring sebelah. Meskipun di sekolah dulu aku jurusan ilmu alam, tapi aku agak malas masuk di jurusan teknik seperti keinginan Papa. Aku lebih suka yang berbau sejarah. Titik. Hasilnya ... ditolak mentah-mentah oleh Papa. Hanya satu orang yang mengerti keadaanku. Dia adalah ....
"Eyang uti ...." Setelah turun dari mobil, langsung saja kupanggil eyangku yang duduk di atas kursi rodanya, menatap langit layung yang segera menjelma malam.
Meski aku sudah dibilang cukup dewasa, tapi sifat kekanak-kanakanku selalu muncul jika berhadapan dengan eyangku. Beliau begitu hangat, mengayomi dan begitu mengerti kondisiku. Langsung saja kucium tangannya dan kupeluk tubuh rentanya yang begitu rapuh. Beliau terbatuk-batuk, menandakan pelukanku terlalu erat bagi raganya.
Senyumnya mengembang, hingga memperlihatkan keriput-keriput tuanya. Wanita berusia senja ini, memang selalu menyunggingkan senyum. Namun satu hal yang kutahu, bola matanya tak dapat menyembunyikan sebuah nestapa. Walaupun aku sendiri tak tahu duka seperti apa yang ia sandang selama ini.
"Oh, Cicitku sayang ... rumah ini sepi tanpa suaramu, Nak." Suara renta eyang masih terdengar renyah di telinga, apalagi jika ia sedang mengisahkan sesuatu.
"Aku kangen cerita Eyang," bisikku lembut.
Hampir di setiap malam jika Eyang dalam kondisi prima, beliau selalu menceritakan perjalanan hidupnya sebagai relawan di masa lalunya atau berkisah tentang perjuangan kawan-kawan pejuangnya saat sebelum dan selepas kemerdekaan.
"Oh iya, Eyang masih punya hutang cerita padaku, tapi ... aku juga punya sesuatu yang ingin kuceritakan pada eyang," ujarku sambil mendorong kursi rodanya masuk ke dalam.
"Nanti saja setelah makan malam. Sekarang bersihkan dirimu dulu."
"Siap, Eyang."
Tak sabar rasanya berbagi cerita dengan beliau. Aku yakin tanggapan beliau tak seperti tanteku. Bahkan mungkin saja eyang bisa menjelaskan cerita dalam mimpiku, sebab kisah tersebut terjadi di sini—di kota kelahiranku berdasawarsa silam.
Kuantar beliau memasuki kamarnya, sebelum aku membersihkan diriku. Saat kulangkahkan kakiku menuju ambang pintu, kulihat sekali lagi wajah Eyangku. Kata Papa, usia Eyang hampir sekitar 90 tahun. Namun kecantikannya bagiku tak memudar. Wajah manis khas timur. Semangat hidupnya masih menyala meski raganya amat ringkih dimakan usia dan penyakit.
***
Tepat selesai makan malam, aku langsung menemui Eyang di kamarnya. Aku masih setia menunggu beliau menyelesaikan makan malamnya. Selesai kurapikan peralatan makan beliau, aku segera duduk manis di sisinya.
"Jadi ... siapa yang ingin bercerita lebih dulu?" tanya Eyang dengan suara lirihnya.
"Aku dulu saja, jika Eyang yang bercerita lebih dulu, aku pasti bakal terlelap saat ini juga." Eyang mengelus lembut pipiku sembari mengangguk. "Jadi begini Eyang, ketika aku di tempat tante, aku mendapatkan sebuah mimpi yang aneh. Mimpi itu terasa begitu nyata. Bahkan aku seperti mengenal dekat orang-orang yang ada dalam mimpiku."
"Coba ceritakan pelan-pelan pada eyang, Nak. Mulai dari awal."
Kutarik napas panjang dan mulai kuceritakan mimpiku pada eyang. Dimulai pada malam pertama saat kudapatkan mimpi tersebut. Ketika pertama kali kusebut nama Sarip, kulihat wajah eyang menegang. Meski kali berikutnya, wajahnya kembali mengendur dan memperhatikan ceritaku dengan saksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...