Mulai dari semalam, Sameera tak bisa tidur. Ia memikirkan bagaimana caranya agar bapaknya tak marah karena Sameera tak pulang ke rumah. Sudah dari kemarin ia hanya mendekam di posko PMI. Memang sebulan terakhir ini, Sameera merasa tak betah di rumah. Perselisihan yang kerap terjadi antara orangtuanya, menyebabkan Sameera banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sesama relawan medis. Hanya dengan merekalah Sameera bisa berkeluh kesah, sekaligus saling berbagi ilmu di bidang kesehatan.
Sejak dua tahun lalu, Sameera memang mengikuti pelatihan keperawatan di Kota Surabaya walaupun hanya pendidikan informal. Namun sejak meletusnya agresi militer pada bulan Juli, ia memutuskan untuk kembali ke Bondowoso. Sameera merasa bahwa di kotanyalah ia akan dibutuhkan.
Sameera sadar, ia hanya seorang gadis biasa yang tak mungkin ikut bertempur di medan laga. Namun ia telah bertekad mendedikasikan hidupnya bagi bangsanya dengan membantu mereka yang butuh pertolongan, seperti saat ini.Di sampingnya, telah terbujur lemah seorang anak lelaki yang usianya jauh lebih muda dari Sameera. Bocah itu terlihat sangat pucat dan masih tak sadarkan diri. Sameera begitu terenyuh melihat kondisi anak itu. Luka tembaknya telah banyak menguras darahnya. Peluru yang bersarang di tulang belikatnya memang telah dikeluarkan. Namun ia perlu perawatan medis yang memadai, melihat kondisinya yang semakin memburuk.
Sameera dan rekan-rekannya pun akhirnya memutuskan membawa anak itu ke posko untuk mendapatkan transfusi darah. Tetapi mereka tak mungkin membawanya sendiri. Mereka butuh bantuan pejuang yang mafhum jalan di hutan ini agar mereka tak tersesat. Akhirnya Rahardjo—salah satu teman Sameera—berinisiatif menemui para pejuang di luar tenda.
Tak begitu lama, datanglah rekan Sameera itu bersama seorang lelaki bercambang yang tampak lusuh. Pakaiannya penuh darah dan matanya begitu sembab. Seolah malamnya telah dihabiskan dengan jutaan cucuran air mata. Anehnya Sameera merasa mengenal dia, tapi entah di mana.
Rahardjo menjelaskan pada lelaki yang merupakan salah satu laskar pejuang itu tentang kondisi kawannya. Lelaki itu pun mengaku mengenal keluarga sang korban dan bersedia mengantar paramedis ke posko lewat jalur terdekat.
“Apa pun akan kulakukan agar anak ini tertolong. Akan kuantar kalian menuju desa terdekat,” ujar lelaki itu.
“Mirah, kau ikut kami kembali ke posko ‘kan?” tanya Raharjo pada Sameera.
“Iya Mas Jo, Bapak pasti sudah cemas nunggu saya pulang,” sahut Sameera.
“Baiklah, biar aku dan Abdul yang membawa tandunya,” ucap Raharjo, “yang lain tetap di sini merawat mereka yang masih terluka.”Ada 7 orang tenaga medis di tenda darurat yang merawat para gerilyawan. Lima lelaki dan dua perempuan. Sameera lah yang termuda di antara mereka. Namun gadis yang belum genap berusia 20 tahun itu, yang paling cekatan di antara yang lain.
“Tak perlu mengulur waktu, kita berangkat sekarang!” perintah Raharjo. “Sampean ndak keberatan tow, Mas Sarip?”
“Oh, tidak sama sekali. Lebih cepat lebih baik. Mari biar saya bantu angkat tandunya,” ujar lelaki yang bernama Sarip itu.
“Tak usah, Mas. Sampean cukup menunjukkan jalan saja pada kami. Biar Mirah berjalan di depan sama sampean,” tutur Rahardjo.
Rahardjo dan seorang temannya yang bernama Abdul, segera memindahkan tubuh bocah yang masih tak sadarkan diri itu ke tandu. Sebelum mereka berangkat, pria yang dipanggil dengan nama Sarip itu meminta ijin untuk berbicara kepada komandannya.
Sameera masih terpaku dengan pria itu—Sarip. Entah mengapa ia punya keyakinan bahwa itu bukan namanya. Tapi bagaimana mungkin ia mengenalnya? Bahkan sekadar menyapa pun belum ia lakukan. Benar-benar rasa yang aneh.
Tak lama kemudian, Sarip muncul dan langsung mengajak untuk berangkat. Sameera langsung mengambil tas miliknya serta beberapa peralatan medis yang diperlukan. Ia lalu berpamitan pada keempat kawannya yang masih tinggal di tenda.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Trein van De Dood [Einde]
Historical FictionBersama dengan Sameera? Ya, memang itulah harapan Sarip. Namun, haruskah ia korbankan perjuangan kawan-kawannya untuk merebut kembali kemerdekaan hanya demi cinta seorang gadis? ***** Kemerdekaan memang telah diproklamirkan. Namun, penjajahan masih...