BAB 22 : TERTANGKAP

349 36 0
                                    

"Seret dia! Pecundang yang lain pasti tak jauh dari sini. Ayo cari lagi!"

Sarip pasrah. Ke mana pun mereka menyeretnya, ia tak lagi peduli. Lelaki itu hanya berharap kedua sahabatnya berhasil lolos dari kejaran serdadu-serdadu Belanda.

"Aaahhh ... lambat sekali bajingan ini. Lebih mudah menyeretnya dalam keadaan tak sadar." Salah satu dari serdadu yang membawa paksa Sarip menggerutu pada kedua temannya.

Sarip tak mungkin sanggup mengikuti langkah cepat mereka dengan kondisi kakinya saat ini.

"Aku tak sabar dengannya. Biar kuhajar saja dia."

Tak lama kemudian hantaman keras di kepala bagian belakang, membuat Sarip terjerembap dan tak sadarkan diri.

***

Antara sadar dan ketidaksadarannya, Sarip mendengar seseorang menyebut-nyebut dirinya.

"Jadi dia salah satu orang yang kita cari selama ini?" ucap seseorang dengan aksen Belanda.

"Benar, Meneer. Dia orang pung nama Hidayat."

Suara itu tak asing di telinga Sarip. Suara yang membuat seluruh asa Sarip remuk seketika. Ia mencoba membuka matanya, menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Ditegakkan kepalanya yang begitu nyeri akibat hantaman serdadu yang menangkapnya tadi. Sarip mendapati tubuhnya terikat di kursi rotan di dalam sebuah ruangan yang temaram.

Di depannya berdiri lelaki berkulit putih berseragam lengkap ala petinggi Belanda. Di kanan kiri lelaki itu, dua serdadu bersenjata laras panjang dengan posisi siaga menjaga tuannya. Napas Sarip tersekat di tenggorokan ketika ia melirik pria yang bersidekap di sampingnya.

"Sersan ... Yohannes ...," ucap Sarip lirih penuh kegetiran.

Ngilu yang dirasakan kaki Sarip, tak sebanding dengan rasa sakit hatinya terhadap Sersan Yohannes yang telah mengkhianati perjuangan bangsanya. Meski ia adalah bapak dari gadis pujaan hatinya; sekaligus mantan pemimpinnya di masa sebelum kemerdekaan, Sarip sama sekali tak memiliki sedikit pun rasa simpati atau rasa hormat kepadanya saat ini.

"Di mana pimpinanmu bersembunyi?"

Sarip tahu pertanyaan Meneer Belanda itu ditujukan padanya. Namun ia tak sedikit pun bicara.

"Di mana pimpinanmu bersembunyi, heh?!"

Lagi-lagi diam menjadi jawaban Sarip.

"Godverdomme! Hajar dia sampai mau bicara!"

Dua pengawal sang majikan segera maju memopor tubuh dan wajah Sarip. Cairan merah berbau anyir, terasa hangat di sudut mulut pria yang tak lagi berdaya itu.

Berulang kali pertanyaan terucap, berulang kali pula pukulan keras didapatkan Sarip, sebab ia memilih bungkam.

"Dasar pribumi tolol! Aku bisa membunuhmu sekarang juga jika kau masih bungkam!" gertak kompeni yang merupakan pimpinan di tempat itu. "Apa susahnya beritahu lokasi persembunyian komandanmu hah? Aku menjamin kebebasanmu. Bukan begitu, Sersan Yohannes?"

"Sungguh kau salah orang. Bunuh saja aku jika kau mau. Tapi maaf, aku bukan orang yang mudah tergiur dengan omong kosong kaum penjajah macam kalian. Kau harusnya mencari orang yang mudah disuap dan bermental sapi seperti dia." Kali ini Sarip baru menyahut dengan nada ketus dan memandang tajam ke arah Sersan Yohannes.

"Bedebah! Prajurit rendahan ini terlalu idealis. Apa untungnya kau menyimpan rapat rahasia itu? Bangsamu tak akan pernah benar-benar merdeka." Pimpinan kompeni itu bersandar di meja sembari membersihkan lencana-lencana yang tersemat di dadanya. "Hajar cecunguk kecil itu dan tempatkan ia di dalam kamar mandi bekas di ujung lorong. Jangan beri dia makan! Dan kau Sersan Yohannes, cari tahu orang terdekatnya. Tangkap dan siksa di hadapannya sampai si brengsek itu mau buka mulut!"

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang