BAB 20 : TERPURUK

372 36 1
                                    

Enam truk yang dilaporkan mata-mata tadi telah tiba di jalanan depan pintu gerbang markas. Setiap truk memuat satu peleton prajurit Belanda bersenjata lengkap. Mereka segera menghambur menuju laskar pejuang Indonesia.

"Tangkap tikus-tikus pemberontak itu hidup atau mati!" seru seseorang yang sepertinya pemimpin para prajurit Belanda tersebut.

"Siapkan senjata kalian! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Serang!" pekik Said yang kali ini diberi perintah secara langsung oleh Komandan Magenda sebagai wakilnya dalam pertempuran.

Sarip yang berada di garis depan bersama Said, sudah siap dengan senjata yang telah diisi ulang penuh. Tembakan demi tembakan dilancarkan kedua belah pihak. Hujan peluru menghiasi cakrawala malam penuh bintang. Anak-anak sumpit beracun pun melesat memburu para kompeni. Aksi lempar granat tak terhindarkan. Laskar gerilya memanfaatkan meriam yang ada untuk menembak ke arah musuh. Alhasil, cukup membuat pertahanan musuh kocar-kacir.

Sarip yang berada di barisan terdepan bersama Komandan Magenda dan Said, mampu memukul mundur barisan musuh. Meski pasukan pribumi kalah jumlah, akan tetapi tekad baja mereka telah mengalahkan segala keraguan.

"Maju!" pekik Komandan Magenda pada seluruh prajuritnya.

Selangkah demi selangkah pasukan gerilyawan memukul mundur pasukan musuh ke arah hutan yang tak jauh dari markas kompeni. Semakin dalam musuh memasuki hutan, semakin menguntungkan bagi laskar gerilyawan. Pasukan musuh tak pernah tahu seluk beluk hutan, apalagi dengan kegelapan seperti sekarang ini.

Sarip masih terus bergerak menembaki musuh-musuhnya. Entah berapa nyawa yang telah dihabisi oleh Sarip. Ia tak lagi memikirkan dosa. Baginya, kaum penjajah setara dengan iblis yang sudah banyak menyisakan nestapa baginya dan seluruh bangsanya.

Ini untuk bapakku. Ini untuk ibuku. Dan lainnya untuk saudara-saudaraku.

Kali ini Sarip mengeluarkan segala amarah dari masa lalunya, bersamaan dengan meluncurnya pelor yang menembus tubuh musuh-musuhnya.

"Bagaimana selanjutnya, Komandan? Kita giring mereka lebih dalam ke hutan?" tanya Sarip.

"Ya, kita lebih diuntungkan di hutan. Mari kita lanjutkan, Kopral," jawab Komandan Magenda.

"Dengarlah, ada derum truk lagi. Sepertinya, bala bantuan musuh datang lebih banyak lagi," ucap Said begitu meyakinkan.

"Semakin cepat kita giring musuh ke hutan, semakin takut bala bantuan musuh mengikuti gerak kita. Ayo!" perintah sang Komandan.

Baku tembak terus berlangsung tanpa kenal lelah. Para pejuang dengan gerak cepat menembaki musuh dengan membabi buta. Mereka sangat terlatih bertempur dalam kegelapan hutan. Seperti sosok hantu yang datang dan menghilang dalam waktu yang singkat. Kini, jumlah musuh semakin berkurang. Tampak jelas aura ketakutan melingkupi prajurit-prajurit kompeni.

Namun, kebahagiaan laskar pejuang yang telah berhasil membuat takut nyali musuh harus berakhir, ketika tiba-tiba ledakan dahsyat menghantam tepat di garis pertahanan mereka.

'Duuaaarrr'

Saat itu juga hutan membara. Banyak laskar pejuang yang terkapar terkena letusan meriam. Entah dari mana asal tembakan itu. Yang jelas, tembakan itu telah memukul telak pasukan pejuang.

"Mundur!" pekik Komandan Magenda histeris. Seketika seluruh pasukannya yang selamat dari tembakan mengambil jalan mundur. Naasnya lagi-lagi tembakan meriam kembali menghantam pasukan gerilyawan. Semuanya terjadi tanpa terduga. Teriakan  histeris para pejuang menggaung ke seluruh penjuru hutan.

"Kau benar Said, derum itu bala bantuan musuh. Kita benar-benar kalah jumlah," ucap Sarip yang masih berlari menjauh dari bekas tembakan yang kedua.

De Trein van De Dood [Einde]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang